REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil studi Dietplastik menunjukkan peningkatan pemantauan emisi metana akan meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di Indonesia. Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia Tiza Mafira mengatakan, 56 persen emisi metana di Indonesia berasal dari tempat pemrosesan akhir (TPA).
Tiza menjelaskan, meskipun emisi metana di atmosfer lebih sedikit dibandingkan karbon dioksida, tapi dampaknya terhadap pemanasan global jauh lebih besar, dengan kontribusi 20 hingga 80 kali lipat lebih besar. Oleh karena itu, katanya, pengurangan emisi metana juga harus menjadi prioritas utama dalam upaya pemangkasan emisi.
“Pemantauan emisi metana yang kredibel adalah syarat utama bagi kita memastikan efektivitas intervensi-intervensi pengurangan emisi itu sendiri," kata Tiza di peluncuran hasil studi proyek MERIT (Methane Emissions Reduction Initiative for Transparency), Kamis (27/2/2025).
Tiza menjelaskan tanpa pengukuran yang kredibel, maka akan sulit untuk mengetahui intervensi apa yang paling efektif untuk mengurangi emisi metana. "Oleh karena itu, proyek ini mengajukan sebuah rekomendasi bahwa pemantauan emisi metana itu menggunakan peningkatan kualitas pengukuran," kata Tiza.
Tiza mengatakan Proyek MERIT yang dilakukan selama satu tahun ini menjadi kegiatan pemantauan emisi metana pertama di Indonesia yang menggunakan metode Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). tier 2 dan alat Closed Flux Chamber.
"Ini adalah cara-cara kami memastikan langkah yang lebih maju dan berbasis sains dalam melakukan pemantauan emisi metana di TPA," kata Tiza.
IPCC membagi tiga tingkatan pemantauan emisi metana menjadi Tier 1, Tier 2, dan Tier 3. Tier 1 metode pengukuran yang paling sederhana dan paling umum digunakan. Metode ini biasanya menggunakan data yang tersedia secara umum dan faktor emisi yang ditetapkan IPCC.
Sementara, Tier 2 metode yang melibatkan pengukuran langsung dan penggunaan data yang lebih spesifik untuk lokasi tertentu.Tier 2 menggunakan faktor emisi yang lebih disesuaikan dan data aktivitas yang lebih rinci, seperti komposisi sampah dan kondisi operasional TPA.
Tiza juga menyoroti pengelolaan sampah yang lebih baik dapat mengurangi emisi metana, terutama dari sampah organik. Ia mengajak semua pihak untuk memprioritaskan pengurangan sampah organik yang masuk ke TPA, sejalan dengan program Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengurangi volume sampah.
"Yang dapat kami tunjukkan adalah bahwa tidak hanya volume sampah yang harus dikurangi, tapi komposisi sampahnya harus diperhatikan," katanya.
Eksekutif Direktur Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB) Suzanti Sitorus, menambahkan metana merupakan superpolutan yang berbahaya bagi kesehatan dan produktivitas manusia. Ia mengingatkan insiden kebakaran di lebih dari 30 TPA yang berdampak pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
“Pertumbuhan ekonomi tidak akan maksimal jika dibebani oleh ongkos kesehatan yang meningkat akibat kualitas lingkungan yang buruk,” kata Suzanti.
Ia menekankan perlunya penanganan metana secara komprehensif, terutama dari sektor persampahan. Konferensi ini bertujuan untuk mempercepat upaya pengurangan emisi metana, dengan fokus pada peningkatan bukti dan data. Suzanti mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam inisiatif ini, yang merupakan langkah awal penting dalam penanganan emisi metana di Indonesia.