Kamis 06 Mar 2025 16:45 WIB

Keluarnya AS dari JETP Dinilai tak akan Berdampak Bagi Transisi Energi Indonesia

Pasar energi global juga tidak akan begitu terpengaruh dengan keputusan AS.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Dua petugas PLN Indonesia Power UBP Bali memeriksa titik panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Nusa Penida, Klungkung, Bali, Selasa (22/10/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Dua petugas PLN Indonesia Power UBP Bali memeriksa titik panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Nusa Penida, Klungkung, Bali, Selasa (22/10/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) dilaporkan keluar dari seluruh program Just Energy Transition Partnership (JETP), termasuk di Indonesia. Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy Firdaus Cahyadi mengatakan keluarnya AS dari JETP tidak mempengaruhi transisi energi Indonesia bila langkah itu tidak diikuti negara-negara lainnya.

"Pada awalnya JETP di Indonesia digunakan oleh AS, Jepang dan International Partners Group (IPG)  lainnya untuk membatasi dominasi investasi China terkait energi terbarukan di Asia," kata Firdaus, Kamis (6/3/2025).

Baca Juga

Firdaus mengatakan, keluarnya AS dari JETP dapat mendorong dominasi Cina dalam investasi energi terbarukan di Asia, termasuk Indonesia. Menurut Firdaus, Jepang dan negara-negara Barat tidak ingin membiarkan hal tersebut sehingga meskipun tanpa AS, JETP di Indonesia harus tetap berlanjut.

"Perkembangan terakhir, posisi AS digantikan oleh Jerman. Jika sebelumnya, JETP Indonesia dipimpin oleh AS dan Jepang, kini pemimpinnya adalah Jerman dan Jepang. Dengan kata lain, JETP akan terus jalan meskipun AS keluar dari kepemimpinan JETP," katanya.

Firdaus mengatakan, dampak jangka-pendek keluarnya AS dari JETP membuat pendanaan sejumlah program tertunda. Tetapi, menurut Firdaus, dalam jangka panjang, keluarnya AS dalam JETP bisa berdampak positif, yaitu mengurangi dominasi AS dalam pembiayaan pembangunan dalam konteks energi di Indonesia. "Perlu diketahui setiap pembiayaan dari asing bukan tanpa kepentingan," katanya.

Dalam konteks JETP, ada kepentingan negara lain terkait memperluas pasar teknologi hijau di Indonesia. Selama ini, AS sangat dominan dalam menentukan arah pembangunan, termasuk energi, bukan hanya di Indonesia tapi juga negara-negara lainnya.

"Keluarnya AS, jika Indonesia mau, bisa digunakan untuk meningkatkan posisi tawar dengan negara-negara donor lainnya, terkait investasi dalam JETP," kata Firdaus.

Firdaus mengatakan masih perlu kajian lebih lanjut untuk mengetahui dampak ekonomi dari keluarnya AS dari JETP. Tapi menurutnya, ada atau tanpa AS, JETP tidak begitu berdampak besar bagi ekonomi, khususnya di lapangan. Sebab, prioritas pendanaan JETP adalah energi terbarukan skala besar, tidak menyisakan pendanaan bagi energi terbarukan berbasis komunitas.

"Jadi dampak ekonominya, bagi masyarakat akar rumput juga tidak terasa dari JETP ini, baik ada atau tidak ada AS," katanya.

Menurutnya, pasar energi global juga tidak akan begitu terpengaruh dengan keputusan AS, bila negara-negara maju lainnya tidak mengikutinya. Bahkan, menurut Firdaus, langkah ini bisa membuat AS menjadi musuh bersama bagi negara-negara lainnya.

Firdaus mengatakan Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan keluarnya AS dari JETP sebagai bahan untuk memperkuat posisi tawar. Pemerintah Indonesia bisa melakukan negosiasi ulang terkait beberapa poin krusial. Ia mencontohkan komposisi pendanaan yang selama ini didominasi utang luar negeri, menjadi lebih banyak hibah, atau paling tidak komposisinya 50 persen hibah.

"Poin lain yang dapat dinegosiasikan ulang adalah memasukan energi terbarukan berbasis komunitas sebagai salah satu prioritas pendanaan," kata Firdaus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement