Rabu 09 Apr 2025 20:51 WIB

Masyarakat Adat Minta Suara Mereka Didengar di COP30

Kenaikan permukaan laut menjadi ancaman bagi masyarakat adat.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
 Masyarakat adat Munduruku memprotes pembangunan proyek kereta api di Amazon, di kantor Kementerian Transportasi di Brasilia, Brasil, Senin (29/7/2024).
Foto: REUTERS/Adriano Machado
Masyarakat adat Munduruku memprotes pembangunan proyek kereta api di Amazon, di kantor Kementerian Transportasi di Brasilia, Brasil, Senin (29/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BRASIL — Sekitar 200 perwakilan masyarakat adat dari berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Latin, Pasifik, hingga Aborigin Australia, menggelar pertemuan penting di Brasilia pada awal pekan ini (8/4/2025). Mereka menyuarakan tuntutan kuat agar suara dan peran mereka lebih diakui dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan diselenggarakan di Belem, Brasil, pada November mendatang.

Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin adat ini secara tegas meminta agar mekanisme pendanaan untuk perlindungan lingkungan dan proyek-proyek adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dapat disalurkan langsung kepada komunitas mereka.

Mereka menekankan bahwa masyarakat adat, meskipun tinggal di wilayah geografis yang berbeda seperti hutan Amazon dan kepulauan Pasifik, sama-sama merasakan dampak paling signifikan dari krisis iklim global. Kenaikan permukaan laut, misalnya, menjadi ancaman eksistensial bagi masyarakat adat di negara-negara Pasifik seperti Fiji.

Alisi Rabukawaqa, seorang pemimpin suku dari Fiji, menyatakan solidaritas mereka dengan masyarakat adat di Amazon. "Di Pasifik, kami memiliki perjuangan unik, tetapi kami hadir di sini untuk menunjukkan kepada masyarakat kami di Amazon, masyarakat adat, bahwa kami bisa berjuang bersama," ujarnya, seperti dikutip dari France 24, Rabu (9/4/2025).

Pengalaman pahit Amerika Latin tahun lalu, yang dilanda kekeringan parah dan kebakaran hutan yang menghanguskan lebih dari 18 juta hektar lahan di Amazon (berdasarkan data MapBiomas), semakin memperkuat urgensi tuntutan masyarakat adat.

Sinesio Trovao, ketua masyarakat adat Betania Mecurane di Brasil, menekankan pentingnya kehadiran para pemimpin adat di COP30.

“Bagi saya penting ketua-ketua adat diundang ke COP30, karena ketua-ketua adat yang tinggal di desa tahu betul besarnya kesulitan yang ditimbulkan masalah iklim," katanya.

Pemerintah Brasil sendiri telah mengumumkan pembentukan Lingkaran Kepemimpinan Adat dalam COP30 mendatang, sebuah langkah yang bertujuan untuk memastikan suara masyarakat adat didengar dalam diskusi global. Namun, komunitas adat menyatakan harapan agar keterlibatan mereka lebih dari sekadar simbolis. "Kami ingin melihat bagaimana ini dapat dilakukan secara nyata," tegas Rabukawaqa (37 tahun).

Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu ini, masyarakat adat menggelar unjuk rasa di Brasilia dengan mengusung slogan "Kamilah Jawabannya."

Aksi ini melibatkan demonstrasi di depan gedung-gedung pemerintahan dan berbagai kegiatan lainnya.

Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, berencana memanfaatkan momentum penyelenggaraan COP30 di jantung Amazon untuk menyoroti ancaman terhadap hutan hujan terbesar di dunia. Dalam kunjungannya ke Amazon baru-baru ini, Lula mengakui "peran penting" masyarakat adat dalam memerangi perubahan iklim.

Kendati demikian, janji Lula untuk mengakhiri deforestasi ilegal di Amazon diiringi kritik dari para aktivis iklim terkait dukungannya terhadap proyek eksplorasi minyak lepas pantai skala besar di dekat muara Sungai Amazon. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen penuh pemerintah terhadap perlindungan lingkungan dan peran masyarakat adat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement