Rabu 16 Apr 2025 15:58 WIB

Produksi Listrik Tenaga Termal China Turun Hampir 5 Persen, Energi Terbarukan Meningkat

Pembangkit listrik tenaga air mencatat pertumbuhan signifikan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Para petugas membersihkan panel surya di area pembangkitan listrik fotovoltaik berkapasitas 500.000 kilowatt di Ordos, Daerah Otonomi Mongolia Dalam, China, Selasa (30/5/2023).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para petugas membersihkan panel surya di area pembangkitan listrik fotovoltaik berkapasitas 500.000 kilowatt di Ordos, Daerah Otonomi Mongolia Dalam, China, Selasa (30/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Produksi listrik dari pembangkit tenaga termal di China, yang sebagian besar masih berbasis batu bara, tercatat menurun hampir lima persen sepanjang kuartal pertama tahun ini. Data terbaru dari Biro Statistik Nasional (NBS) China menunjukkan adanya pergeseran menuju sumber energi yang lebih bersih seiring meningkatnya produksi dari pembangkit listrik tenaga air dan energi terbarukan lainnya.

Pada bulan Maret 2025, produksi listrik tenaga termal turun sebesar 2,3 persen dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, menjadi sekitar 509 miliar kilowatt-jam (kWh). Secara kumulatif, dalam tiga bulan pertama tahun ini, produksi tercatat sebesar 1,53 triliun kWh—turun 4,7 persen dibandingkan kuartal pertama 2024.

Sebaliknya, pembangkit listrik tenaga air mencatat pertumbuhan signifikan. Pada Maret, produksinya naik 9,5 persen menjadi 78,1 miliar kWh, menjadikannya sumber energi terbesar kedua di negara itu setelah tenaga termal. China juga tercatat terus memproduksi listrik dari sumber lain seperti gas alam dan energi surya terdistribusi.

Secara keseluruhan, total produksi listrik nasional pada Maret meningkat 1,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya, menyusul penurunan 1,3 persen yang tercatat dalam dua bulan pertama tahun ini. Penurunan tersebut sebagian besar dipicu oleh musim dingin yang relatif hangat, yang membatasi permintaan listrik rumah tangga.

Menariknya, periode Januari-Februari 2025 menandai kali pertama sejak 1988—di luar masa pandemi dan krisis ekonomi global 2008—produksi listrik China mengalami kontraksi. NBS mencatat data gabungan untuk Januari dan Februari karena libur panjang Tahun Baru Imlek yang memengaruhi aktivitas ekonomi.

Namun, data dari Administrasi Energi Nasional (NEA) menunjukkan bahwa permintaan listrik secara keseluruhan justru naik 1,3 persen selama dua bulan tersebut. NEA mencakup pembangkit skala kecil berbasis energi terbarukan, seperti tenaga surya rumahan, yang tidak tercakup dalam cakupan survei NBS.

Sebagai catatan, NBS hanya mengumpulkan data dari perusahaan kelistrikan dengan pendapatan tahunan minimal 20 juta yuan (sekitar 2,8 juta dolar AS) dari operasi intinya. Sementara itu, sepanjang 2024, produksi listrik tenaga termal di China secara keseluruhan tumbuh tipis 1,5 persen menjadi laju pertumbuhan tahunan paling lambat dalam sembilan tahun terakhir, di luar periode pandemi.

Meski sektor ketenagalistrikan menjadi konsumen utama batu bara di China, bahan bakar fosil tersebut juga masih digunakan secara luas di sektor industri dan untuk keperluan pemanas.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement