Selasa 19 Aug 2025 19:26 WIB

Menteri LH Akui Indonesia Masih Minim Instrumen Perlindungan Biodiversitas

Biodiversitas seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Penjaga habitat puspa langka, Holidin membersihkan tumbuhan liar di sekitar bunga Rafflesia Arnoldi kembar di Taman Konservasi Puspa Langka, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Kamis (29/4/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Izfaldi
Penjaga habitat puspa langka, Holidin membersihkan tumbuhan liar di sekitar bunga Rafflesia Arnoldi kembar di Taman Konservasi Puspa Langka, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Kamis (29/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan pentingnya langkah serius dalam melindungi keanekaragaman hayati Indonesia. Saat ini, aturan mengenai perlindungan biodiversitas masih minim.

Hanif mengungkapkan, dokumen Indonesia Biodiversity Strategies and Action Plan (IBSAP) 2025-2045 yang baru diterima kementeriannya merupakan tonggak penting, meski kedatangannya terlambat setelah puluhan tahun sejak mandat ratifikasi berbagai protokol internasional.

Baca Juga

“Dokumen yang sangat penting ini sebenarnya merupakan turunan dari beberapa undang-undang ratifikasi beberapa protokol. Namun sekian puluh tahun baru kemarin dokumen ini sampai ke Kementerian,” kata Hanif dalam peluncuran  dokumen Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia, Ekoregion Sumatra dan Sulawesi, Selasa (19/8/2025).

Dalam kesempatan itu, Hanif mengapresiasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyusun Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Status Keanekaragaman Hayati di tujuh Ekoregion yaitu Sulawesi, Sumatera, Papua, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Maluku dan Kalimantan.

Hanif menekankan, Indonesia merupakan negara megabiodiversitas dengan 22 tipe ekosistem alami yang tersebar dari darat hingga laut. Ekosistem ini menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna yang menyimpan potensi besar sebagai sumber pangan, obat-obatan, hingga energi.

“Biodiversitas tidak ada artinya bila tidak kita tangani secara pentahelix, dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi, pakar, serta media,” ujarnya.

Ia mengingatkan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memandatkan pengelolaan tujuh ekosistem esensial, termasuk gambut, mangrove, karst, ekosistem danau, padang lamun, serta terumbu karang. Namun hingga kini, baru ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki peraturan pemerintah (PP) khusus.

“Masih ada utang lima PP dari tujuh ekosistem esensial yang dimintakan undang-undang kepada Menteri untuk membangunnya,” kata Hanif. Ia pun meminta dukungan penuh dari Bappenas dan BRIN untuk mempercepat tata kelola ekosistem lainnya.

Hanif menyinggung keterkaitan erat antara keanekaragaman hayati dan nilai ekonomi karbon. Menurutnya, Indonesia masih sibuk mengembangkan pasar karbon, namun melupakan potensi ekonomi dari biodiversity credit.

“Kita ini negara terbesar nomor dua di dunia megabiodiversity yang tidak pernah kita sentuh. Kita masih asyik dengan kegiatan-kegiatan ekstraksi sumber daya alam yang tentu tidak berkelanjutan,” tegasnya.

Ia membandingkan kondisi Indonesia dengan sejumlah negara Eropa yang berhasil mempertahankan biodiversitas sambil mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hanif juga mengkritisi minimnya instrumen hukum yang spesifik untuk melindungi biodiversitas. Menurutnya, bahkan hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang yang relevan untuk meratifikasi 4-5 protokol internasional terkait biodiversitas.

“Saya Menteri Lingkungan Hidup, saya belum melihat terlalu banyak instrumen untuk melindungi biodiversitas ini,” kata dia.

Sebagai contoh, Hanif menyinggung nasib pesut air tawar di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Populasinya kini hanya tersisa 62 ekor, jauh merosot dibanding era 1990-an. Ia menuturkan, keberadaan ratusan tongkang yang melintas setiap hari membuat habitat pesut semakin terdesak ke anak-anak sungai.

“Kita berdiam diri. Kita melihat dengan tenang hati, satu per satu pesut itu akan habis pada saat yang nanti inilah yang kemudian harus menyentak kita,” ujarnya dengan nada prihatin.

Hanif mengingatkan biodiversitas seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia. Namun hingga kini, hal itu belum terealisasi. Ia menyebut, instrumen perlindungan baru mulai terlihat setelah Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPH).

“Ini mandat yang sudah diminta sejak 16-17 tahun lalu dalam UU No. 32 Tahun 2009. Namun baru kemarin, di zaman Presiden Prabowo, peraturan pemerintah itu diterbitkan,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement