REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang membatasi penggunaan plastik sekali pakai dan air kemasan di bawah satu liter dinilai langkah tepat dan berani. Anggota steering committee Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Hermawan Some mengatakan kebijakan ini sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 Tahun 2019 serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“Pemprov Bali sudah mengambil langkah yang sangat tepat. Dalam Permen LHK disebutkan air kemasan tidak boleh kurang dari satu liter. Ini sejalan dengan aturan pelaksana UU Pengelolaan Sampah,” kata Hermawan, Rabu (17/4/2025).
Ia menyebut pembatasan ini tidak hanya berlaku untuk kantong plastik sekali pakai, tetapi juga meluas ke styrofoam, sedotan plastik, serta alat makan sekali pakai lainnya. Menurut Hermawan, langkah Pemprov Bali patut menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia.
“Selama ini pembatasan plastik sekali pakai hanya sebatas kantong kresek saja. Namun Bali sudah lebih maju dengan membatasi berbagai jenis kemasan plastik,” katanya.
Ia juga mengapresiasi upaya larangan penggunaan plastik di Pontianak sebagai langkah bijak yang perlu didukung secara nasional. Saat ini tercatat ada sekitar 115 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki peraturan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai (PSP).
Namun cakupan aturan tersebut bervariasi; ada daerah yang hanya membatasi kantong kresek sementara lainnya juga mengatur sedotan dan styrofoam. Hermawan menekankan pentingnya pengelolaan sampah berbasis prinsip reuse (gunakan ulang) dan reduce (mengurangi).
“Dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya pemerintah daerah bisa memaksimalkan upaya reuse dan reduce karena tidak membutuhkan investasi besar atau operasional rumit,” katanya.
Hermawan mengingatkan pencemaran akibat plastik terutama jenis sekali pakai telah menjadi masalah serius di berbagai wilayah Indonesia—dari sungai hingga laut bahkan pegunungan. Kondisi ini menurutnya sangat memprihatinkan sehingga butuh perhatian serius dari semua pihak.
“Salah satu solusi selama ini adalah menjadikan limbah plastik sebagai Refuse Derived Fuel (RDF) untuk energi pembakaran,” jelasnya.
Namun ia memperingatkan metode tersebut bukan penyelesaian akhir karena akan menghasilkan polutan berbahaya seperti dioksin dan furan yang bersifat mutagenik serta dapat merusak kesehatan manusia secara signifikan. Menurut data terbaru yang dikutip oleh Hermawan, tingkat daur ulang limbah plastik nasional masih sangat rendah yakni berkisar antara 9 hingga 15 persen saja tergantung sumber data resmi maupun lembaga swadaya masyarakat terkait lingkungan hidup.
“Artinya sebagian besar limbah plastik belum terkelola dengan baik sehingga mencemari lingkungan kita,” katanya.
Ia menjelaskan kendala utama daur ulang yaitu minimnya pemilahan sampah sejak dari sumbernya sehingga material campuran sulit diproses kembali menjadi bahan baku baru tanpa biaya tambahan untuk pembersihan atau pemisahan lebih lanjut. Selain itu keragaman jenis bahan kemasan juga menyulitkan proses daur ulang massal karena misalnya botol minuman menggunakan PET sementara tutup botol memakai HDPE atau segel label menggunakan bahan lain lagi sehingga harus dipilah secara manual sebelum didaur ulang agar hasilnya optimal.
Mengenai kebijakan Gubernur Bali terkait batas minimal volume air kemasan satu liter menurut Permen LHK No.75/2019 sudah benar namun menurut Hermawan perlu diperluas ke produk-produk lain seperti minuman dalam kemasan saset maupun makanan ringan agar dampaknya lebih signifikan terhadap pengurangan sampah plastik sekaligus mendorong sistem refill atau guna ulang produk konsumsi sehari-hari demi mengurangi jumlah kemasan baru masuk pasar konsumen akhir.
“Kita tahu salah satu penyumbang terbesar pencemaran pantai dan laut Bali adalah sachet-sachet kecil itu sendiri,” katanya. Ia berharap semakin banyak pemerintah daerah mengikuti jejak inovatif Pemprov Bali demi masa depan lingkungan hidup Indonesia lebih bersih tanpa beban sampah plastik berlebih.