REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen menyelesaikan masalah plastik di dalam negeri melalui roadmap atau peta jalan nasional yang terukur, meski perundingan internasional mengenai perjanjian plastik yang mengikat secara hukum (INC 5.2) di Jenewa gagal. Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, strategi ini menjadi peta jalan untuk menuntaskan plastik problematik dan beracun.
Hanif mengatakan segera berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian untuk membahas penyusunan roadmap. “Kami akan segera melakukan laporan formal dengan pak Menteri Perindustrian untuk mendesain bagaimana roadmap menuju 2029,” kata Hanif di sela peluncuran dokumen Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia, Ekoregion Sumatra dan Sulawesi, Selasa (19/8/2025).
Roadmap nasional ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2025 yang memandatkan penyelesaian masalah plastik paling lambat 2029. Hanif menekankan, peta jalan tersebut mencakup pengelolaan plastik problematis, plastik yang sulit diolah, serta plastik beracun yang ada di lingkungan.
“Artinya kita wajib menyelesaikan plastik yang problematik, plastik yang tidak bisa kita tangani, serta plastik yang mengandung bahan beracun. Ini semua ada di lingkungan kita. Siapapun menterinya akan ambil tindakan terukur dalam rangka pengurangan itu,” ujarnya.
Langkah ini juga meliputi pengelolaan plastik multiguna yang masih dibutuhkan masyarakat secara hati-hati. Penerapan extended producer responsibility (EPR) yang sebelumnya sukarela akan diperkuat menjadi kewajiban, dibarengi pembentukan producer responsibility organization untuk mengelola plastik secara menyeluruh.
Hanif menegaskan, kegagalan perundingan global tidak menghentikan langkah Indonesia. “Indonesia tetap berambisi untuk melakukan penanganan plastik dengan serius,” ujarnya.
Terkait kegagalan perundingan plastik global di Jenewa, Hanif mengaku sudah memprediksinya. “Kami sudah ingatkan, sudah ketemu dengan Sekretaris Direktur UNEP, bahwa negosiasi treaty ini tidak bisa dilanjutkan karena masih terjadi gap yang cukup serius antara high ambition dengan like-minded country. Like-minded country itu yang nggak mau diatur, high ambition itu maunya (produksi plastik) dikurangi,” kata Hanif.
Menurut Hanif, perbedaan tersebut membuat pembahasan tidak efektif. Tercatat masih ada sekitar 1.500 fase yang harus didiskusikan, sementara waktu yang tersedia hanya dua hari. Indonesia sempat mengusulkan agar dibuat kerangka kerja terlebih dahulu sambil memperkuat pendekatan bilateral. Namun, pimpinan sidang tetap bersikeras menggunakan mekanisme konsensus atau voting.
“Indonesia menolak voting, karena penting sekali terkait dengan plastik ini,” kata Hanif.