REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah resmi menerbitkan peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025. Regulasi ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mengakhiri ketergantungan pada batu bara dan mempercepat transisi menuju energi bersih.
Permen yang diteken Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Selasa (15/4/2025) itu merupakan peraturan turunan dari Perpres No. 112/2022. Salah satu poin kuncinya adalah percepatan penghentian operasi PLTU batu bara, serta pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali yang masuk dalam proyek strategis nasional atau memenuhi kriteria khusus lainnya.
Setelah mengeluarkan permen peta jalan transisi energi, Bahlil menyetujui pensiun dini PLTU Cirebon I (650 MW) menggunakan skema Energy Transition Mechanism (ETM). Ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah siap masuk ke fase implementasi.
Langkah tersebut diapresiasi Institute for Essential Services Reform (IESR), yang menyebut regulasi ini sebagai pijakan hukum penting dalam membangun masa depan ketenagalistrikan Indonesia.
“Permen ini membuka peluang nyata untuk percepatan pensiun PLTU, dengan tetap menjaga keandalan sistem dan prinsip transisi energi yang adil,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Rabu (23/4/2025).
Fabby menilai keputusan pensiun dini PLTU Cirebon I sebagai bukti bahwa pengakhiran kontrak PLTU sebelum waktunya bisa dilakukan secara legal, teknis, dan ekonomis. Namun ia mengingatkan, ini baru permulaan.
“Prosesnya sudah dimulai sejak 2021, tapi pekerjaan rumahnya masih panjang. PLN dan PT Cirebon Electric Power (CEP) harus segera menyiapkan pembangkit energi terbarukan pengganti serta memperkuat jaringan listrik untuk integrasi sumber energi variabel seperti surya dan angin,” katanya.
Menurut IESR, tanpa kesiapan sistem, pensiun dini PLTU justru berisiko menyebabkan krisis pasokan listrik pada 2035.
IESR juga menggarisbawahi urgensi rencana jangka panjang. Berdasarkan kajiannya, untuk menjaga suhu bumi tidak melampaui ambang batas 1,5°C, Indonesia perlu memensiunkan 72 PLTU batu bara berkapasitas total 43,4 GW hingga 2045. Sebanyak 18 PLTU di antaranya direkomendasikan tutup dalam periode 2025–2030.
Biaya pensiun dini ini tidak murah, diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar AS hingga 2030 dan 27,5 miliar dolar AS hingga 2050. Mayoritas beban dana itu berada di pundak PLTU swasta, yang menyumbang dua pertiga dari total kebutuhan pembiayaan.
Namun, Fabby menegaskan bahwa biaya tinggi itu sebanding dengan manfaat jangka panjang: penghematan subsidi dan pengeluaran kesehatan yang mencapai 96 miliar dolar AS pada 2050.
“Dana pensiun dini PLTU milik PLN bisa bersumber dari APBN dan penyertaan modal negara. Tapi prinsipnya harus jelas: ini bukan sekadar mengganti PLTU, tapi mengakselerasi pembangunan pembangkit bersih dan penguatan jaringan listrik. Kita sedang memindahkan dana dari energi kotor ke energi masa depan,” ujar Fabby.
Fabby menyarankan agar PLTU mulai dioperasikan secara fleksibel, menyesuaikan pola produksi energi terbarukan yang bersifat intermiten. Langkah ini diyakini bisa meningkatkan integrasi energi surya dan angin dalam sistem kelistrikan nasional.