Jumat 30 May 2025 16:07 WIB

Co-firing Biomassa Dinilai Belum Efektif Tekan Emisi PLTU

Tantangan besar masih membayangi implementasi co-firing.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Emisi karbon (ilustrasi)
Foto: Piaxabay
Emisi karbon (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Laporan terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan bahwa penerapan pembakaran bersama (co-firing) biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) belum memberikan dampak signifikan terhadap penurunan emisi dan polusi udara. Meskipun ditujukan sebagai bagian dari strategi transisi energi, co-firing dinilai masih menyisakan sejumlah tantangan baik dari sisi lingkungan maupun efektivitas teknis.

Dalam laporannya yang berjudul Biomass Co-firing in Indonesia: Prolonging, Not Solving Coal Problem, CREA mencatat bahwa peningkatan porsi biomassa hingga 10 persen dalam co-firing pada 52 PLTU sebagaimana direncanakan dalam RUPTL 2021–2023, hanya berkontribusi pada pengurangan emisi materi partikulat (PM) sebesar 9 persen, nitrogen oksida (NOx) 7 persen, dan sulfur dioksida (SO2) 10 persen. Secara keseluruhan, emisi dari PLTU hanya berkurang sekitar 1,5 hingga 2,4 persen.

Baca Juga

Selain dampaknya yang terbatas, co-firing juga berpotensi menghasilkan polutan tambahan seperti merkuri, karbon monoksida (CO), hidrogen sulfida (H2S), serta jejak logam berat seperti arsenik dan timbal. Hal ini disebabkan perbedaan standar emisi yang berlaku untuk batu bara dan biomassa, yang belum sepenuhnya diakomodasi dalam regulasi saat ini.

“Klaim pengurangan emisi dari co-firing perlu dikaji ulang secara menyeluruh, agar benar-benar sejalan dengan target peningkatan kualitas udara dan upaya mitigasi iklim nasional,” ujar Analis CREA, Katherine Hasan, Jumat (30/5/2025).

Katherine menegaskan bahwa langkah substansial menuju perbaikan kualitas udara memerlukan peta jalan penghentian bertahap PLTU dan penerapan standar emisi yang lebih ketat, didukung oleh teknologi pengendalian polusi yang memadai.

Ia juga menyoroti perlunya transparansi dalam menyampaikan klaim pengurangan emisi, termasuk menghitung seluruh siklus hidup biomassa mulai dari panen, proses, hingga transportasi.

Peneliti CREA, Abdul Baits Swastika, menyampaikan bahwa co-firing kerap dianggap sebagai solusi cepat untuk mengurangi emisi dari energi fosil. Namun dalam praktiknya, solusi ini belum secara langsung menyasar akar permasalahan polusi udara atau mempercepat penetrasi energi terbarukan.

Melalui laporan ini, CREA mendorong pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan biomassa di PLTU, termasuk dengan memfasilitasi pemantauan dan evaluasi berbasis data. Verifikasi independen juga dinilai penting agar bioenergi benar-benar memenuhi prinsip keberlanjutan.

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menambahkan bahwa meskipun co-firing telah lama diklaim sebagai bagian solusi pencemaran udara, tantangan besar masih membayangi implementasinya. Salah satunya adalah ketidakpastian mengenai pasokan biomassa yang berkelanjutan dan dapat diandalkan.

“Kritik terhadap co-firing semakin banyak muncul di berbagai negara, terutama jika isu-isu keberlanjutan dan efisiensi belum terjawab. Laporan Korea Selatan yang akan menghentikan subsidi biomassa menjadi indikasi melemahnya dukungan global terhadap skema ini,” ujar Putra.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement