REPUBLIKA.CO.ID, PRANCIS — Dunia diprediksi gagal mencapai target peningkatan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Laporan lembaga think-tank berbasis di Prancis, REN21, menyebutkan perlambatan investasi dan kemunduran komitmen iklim sebagai hambatan utama.
Sepanjang 2024, kapasitas energi terbarukan global memang tumbuh 740 gigawatt. Namun, angka ini masih jauh dari target yang disepakati dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) pada 2023, yaitu mendorong pertumbuhan masif pembangkit listrik tenaga surya dan angin demi menahan pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.
REN21 menilai upaya global menuju target itu belum cukup signifikan. Direktur Eksekutif REN21 Rana Adib menegaskan bahwa rekor pembangunan pembangkit energi bersih tidak diiringi kesiapan sistem yang mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon.
“Tanpa kebijakan yang koheren, perencanaan yang terkoordinasi, dan infrastruktur kuat termasuk jaringan dan penyimpanan energi, bahkan rekor pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan tidak mampu memberikan transisi yang cukup cepat dan langgeng,” kata Adib, Rabu (25/6/2025).
Dalam laporan terbarunya, REN21 mencatat dunia masih kekurangan 6,2 terawatt kapasitas energi terbarukan untuk mencapai target 2030.
Dari seluruh teknologi yang ada, hanya tenaga surya yang dinilai berada di jalur yang tepat.
Panel surya menyumbang 81 persen dari tambahan kapasitas energi terbarukan global tahun lalu. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh pemasangan panel surya atap di negara berkembang serta penurunan biaya teknologi.
Namun, kemajuan tersebut terancam oleh berbagai hambatan kebijakan dan penurunan investasi. REN21 menyoroti keputusan sejumlah negara yang mundur dari komitmen iklim, seperti Amerika Serikat yang keluar dari Perjanjian Paris dan Selandia Baru yang kembali mengizinkan eksplorasi minyak dan gas.
Di sisi lain, langkah perusahaan migas dan lembaga keuangan yang mengurangi investasi dalam transisi energi turut memperlambat laju perubahan.
Sebelum kebijakan tarif yang diberlakukan pada era Presiden Donald Trump, negara-negara Barat juga sudah menerapkan proteksionisme demi melindungi industri domestik dari dominasi teknologi murah asal Cina, yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan energi terbarukan sepanjang 2024.