REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN – Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menegaskan komitmen pemerintah dalam penguatan pengendalian kebakaran lahan (karla) dan penanganan isu lingkungan hidup di Kalimantan. Hanif menegaskan pentingnya kontribusi aktif dunia usaha dalam mendukung ketahanan pangan dan energi melalui langkah pencegahan kebakaran lahan serta dampak pencemaran lingkungan di tahun 2025.
“Sampai dengan tanggal 2 Juli 2025, dari 2.590 perusahaan yang kami surati, baru 1.060 yang telah melaporkan kesiapsiagaan mereka,” ungkap Hanif dalam sambutannya Rapat Konsolidasi Lapangan Kesiapsiagaan Pengendalian Kebakaran Lahan bersama Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (5/7/2025).
Rapat itu menjadi ruang strategis untuk memperkuat sinergi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan pelaku usaha perkebunan dalam menekan potensi karla. Hanif mengapresiasi komitmen Gapki yang mewakili lebih dari 300 perusahaan di Kalimantan dalam memperkuat sistem deteksi dini, menyiapkan sarana pemadaman, serta meningkatkan kapasitas personel tanggap darurat.
Dalam pernyataannya, Kementerian Lingkungan Hidup mencatat meski titik panas (hotspot) turun 59 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Data per 1 Juli 2025 masih mencatat 382 titik panas dan 498 kejadian kebakaran hutan dan lahan di berbagai provinsi, termasuk Kalimantan Timur.
Menanggapi hal ini, Hanif meminta kepala daerah untuk memverifikasi kesiapan sarana, prasarana, SDM, dan pendanaan para pemrakarsa usaha. “Sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah akan diterapkan bagi yang tidak memenuhi standar, dan sanksi pidana jika ketentuan administratif tersebut tetap tidak dijalankan,” tegas Hanif.
Hanif juga memaparkan lima penyebab utama kebakaran lahan, yakni pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, konflik tenurial, keberadaan lahan tidur (idle land), ketidakhadiran pemilik lahan (absentee), serta aktivitas ilegal dan penyebaran api dari wilayah lain. Risiko ini semakin tinggi di lahan gambut saat musim kemarau dan masih maraknya pembakaran dengan dalih budaya lokal.
“Data periode 2015–2024 menunjukkan 79 areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan mengalami kebakaran dengan total luas kurang lebih 42.476 hektar. Ini mengindikasikan sebagian besar pemrakarsa usaha, khususnya di sektor kelapa sawit, belum menjalankan upaya maksimal dalam mencegah karla,” kata Hanif.