REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Zona megathrust di Selat Sunda diperkirakan tengah menyimpan energi besar yang berpotensi memicu gempa dahsyat. Berdasarkan analisis seismic gap, wilayah selatan Banten belum mengalami gempa besar sejak 1757—atau sekitar 267 tahun—menandakan akumulasi tekanan yang terus meningkat di bawah lempeng bumi.
Peringatan itu mengemuka dalam talkshow kebencanaan bertajuk “Ancaman Megathrust, Rinjani hingga Tragedi Sidoarjo: Siapkah Kita Hadapi Bahaya dan Bencana?” yang digelar oleh Universitas Budi Luhur bekerja sama dengan Yayasan Omah Kolaborasi Nusantara (YOK Nusantara). Acara ini menghadirkan sejumlah pakar kebencanaan.
Perwakilan BMKG, Indra Gunawan, menjelaskan bahwa seismic gap merupakan zona sumber gempa aktif yang lama tidak melepaskan energi. “Skenario model gempa Selat Sunda dengan kekuatan 8,7 dapat menimbulkan dampak kerusakan luas dari Palembang hingga Cirebon,” ungkapnya.
Mantan Kepala BNPB Prof Syamsul Maarif menegaskan, ancaman megathrust harus dipahami secara komprehensif, bukan sekadar ditakuti.
“Megathrust adalah ancaman nyata. Ini harus kita pahami dan atasi, bukan berhenti di rasa takut atau pasrah,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Utama Basarnas Abdul Haris Achadi menilai mitigasi bencana perlu dijalankan melalui kolaborasi lintas sektor, termasuk perguruan tinggi.
“Kalau perlu bukan hanya pentahelix, tapi multihelix. Kesiapsiagaan harus jadi budaya,” katanya.
Adapun pengajar LSPR Muhammad Hidayat menekankan pentingnya early warning system berbasis komunikasi yang disesuaikan dengan fase bencana—sebelum, saat, dan sesudah kejadian.
"Komunikasi adalah bagian dari sistem penyelamatan itu sendiri" pungkasnya.