REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan komitmen pemerintah dalam menangani krisis sampah nasional melalui pendekatan terstruktur dan kolaboratif lintas sektor. Ia menekankan, seluruh kewenangan yang dimiliki Kementerian LHK akan digunakan semaksimal mungkin untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah di Indonesia.
“Segala langkah dan kewenangan yang kami miliki akan kami tumpahruahkan untuk bersama-sama semaksimal mungkin mencapai harapan kita dalam penanganan pengelolaan sampah,” kata Hanif saat meresmikan Waste Crisis Center, Kamis (31/7/2025).
Hanif menyebut, persoalan sampah yang tampak sederhana menjadi kompleks karena volumenya yang sangat besar dan minimnya penanganan sistematis. “Seandainya jumlahnya sedikit, sebenarnya sangat sederhana. Cukup dipilah dan dilakukan 3R (reduce, reuse, recycle), mestinya masalah ini bisa berkurang. Tapi ternyata tidak demikian,” ujarnya.
Ia juga mengkritik praktik open dumping yang masih dominan di banyak daerah, karena berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan. Untuk itu, Kementerian LHK mengingatkan seluruh kepala daerah—gubernur, bupati, dan wali kota—untuk menaati Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dengan potensi sanksi administratif bagi pelanggar.
“Kami telah menempatkan tim pemantau di tiap kabupaten/kota yang akan melakukan kunjungan bulanan. Setiap 10–11 daerah dibina oleh satu direktur, dan dipantau langsung oleh pejabat eselon II,” jelas Hanif.
Sebanyak 514 kabupaten/kota masuk dalam skema pengawasan ini, dengan pengawasan berjenjang hingga tingkat eselon I untuk memastikan laporan lapangan benar-benar sampai ke menteri.
Hanif menekankan bahwa solusi penanganan sampah harus disesuaikan dengan karakteristik regional mengingat keragaman geografis Indonesia. “Kami sangat paham dengan lanskap 17 ribu pulau yang kita tinggali. Penyelesaian sampah tidak bisa disamakan. Berbagai tipikal itu harus dibahas region per region. Di sinilah peran Waste Crisis Center,” tegasnya.
Pusat ini diharapkan menjadi pusat informasi dan inovasi. Meski mengakui infrastruktur saat ini belum ideal, Hanif menegaskan hal itu bukan alasan untuk tidak bertindak.
“Dengan dukungan pakar, kita bisa pecahkan masalah bersama,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya membangun ekonomi sirkular dari pengelolaan sampah. Meski menyadari prosesnya bisa memakan waktu 10 hingga 20 tahun seperti yang dialami negara lain, Hanif ingin Indonesia bergerak lebih cepat dengan tetap realistis.
“Waste Crisis Center akan membantu daerah merumuskan pola penanganan spesifik sesuai dengan tantangan masing-masing,” katanya.
Hanif mendorong partisipasi aktif para pakar dan masyarakat dalam membangun budaya pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Ia meyakini pusat ini akan berkontribusi besar terhadap perubahan sistemik.
“Masalah sampah tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan teknologi. Kita butuh perubahan budaya dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan. Transformasi harus dimulai dari perubahan perilaku,” ujarnya.
Hanif mengajak semua pihak untuk memulai perjuangan bersama demi meninggalkan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik bagi generasi mendatang.