REPUBLIKA.CO.ID, MARYLAND -- Penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature mengungkapkan dunia memiliki jauh lebih sedikit lokasi aman untuk menyimpan karbon dioksida di bawah tanah. Temuan ini secara signifikan mengurangi potensi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) dalam mengatasi pemanasan global.
Menurut penelitian tersebut, kapasitas penyimpanan karbon global 10 kali lebih kecil dari perkiraan sebelumnya. Hal ini karena para peneliti menyingkirkan formasi geologi yang berisiko mengalami kebocoran gas, memicu gempa bumi, atau mencemari air tanah.
Keterbatasan ini menunjukkan teknologi CCS hanya berpotensi mengurangi pemanasan yang disebabkan manusia sebesar 0,7 derajat Celsius, jauh di bawah perkiraan sebelumnya yang mencapai 5-6 derajat Celsius. Penulis utama penelitian tersebut, Matthew Gidden, mengatakan temuan ini menegaskan teknologi penyimpanan karbon merupakan alat yang terbatas dalam upaya pemangkasan emisi.
“(Penelitian ini menunjukkan) betapa sangat pentingnya mengurangi emisi secepat dan sesegera mungkin,” kata Gidden, profesor riset di Pusat Keberlanjutan Global University of Maryland, Kamis (4/9/2025).
Penelitian ini dipimpin International Institute for Applied Systems Analysis, di mana Gidden juga merupakan peneliti senior dalam program energi, iklim, dan lingkungan. Banyak skenario untuk mencapai target Perjanjian Paris 2015, yakni membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius.
Industri minyak dan batu bara kerap mempromosikan teknologi CCS untuk mencapai target itu. Namun penelitian Gidden dan rekan-rekannya memukul keras anggapan tersebut.
Penelitian Gidden merupakan kajian pertama yang secara sistematis menguji dan mengidentifikasi area mana yang harus dihindari, yang menghasilkan apa yang mereka sebut “potensi kehati-hatian” untuk meminimalkan risiko bagi manusia dan lingkungan.
Para peneliti menekankan meskipun CCS tetap penting, negara-negara harus memprioritaskan penggunaannya dan mengombinasikannya dengan pengurangan emisi yang cepat. Teknologi ini idealnya digunakan untuk sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi, seperti produksi semen, penerbangan, dan pertanian, bukan untuk memperpanjang usia pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
“Jika kita memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil terlalu lama dengan harapan mengimbanginya hanya dengan menyimpan karbon di bawah tanah, kita kemungkinan besar membebani generasi mendatang dengan tugas yang hampir mustahil untuk menghadapi kekacauan kita, ditambah dengan cara-cara yang terbatas untuk membersihkannya,” ujar Gidden.
Meskipun industri terus mempromosikan CCS, implementasinya menghadapi banyak tantangan. Hingga saat ini, CCS belum diterapkan dalam skala besar. Meskipun miliaran dolar telah diinvestasikan, jumlah karbon yang berhasil ditangkap masih sangat kecil, hanya sebagian kecil dari miliaran ton emisi yang dilepaskan setiap tahun.
Di Amerika Serikat, teknologi ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Kelompok konservatif menganggapnya terlalu mahal dan tidak perlu, sementara aktivis lingkungan menilainya sebagai cara bagi produsen bahan bakar fosil untuk terus beroperasi.
Selain itu, teknologi yang paling umum hanya mampu menangkap sekitar 60 persen emisi karbon dioksida. Untuk menangkap lebih dari itu, prosesnya menjadi jauh lebih sulit dan mahal.
Rob Jackson dari Global Carbon Project mendukung pandangan penelitian Gidden dan rekan-rekannya. Ia optimistis teknologi CCS akan berfungsi, tetapi skeptis karbon akan disimpan dalam jumlah besar karena masyarakat tidak mau menanggung biayanya.
“Jika kita tidak bersedia memangkas emisi hari ini, mengapa kita berharap orang-orang di masa depan secara otomatis akan membayar untuk menghilangkan polusi kita? Kita hanya terus mencemari dan tidak menangani akar masalahnya,” kata Jackson dilansir laman The Associated Press.
Proses kerja CCS pada dasarnya terbagi dalam tiga tahap. Pertama, penangkapan, yaitu peralatan khusus dipasang di fasilitas industri atau pembangkit listrik untuk memisahkan karbon dioksida dari gas lainnya. Karbon juga bisa ditangkap langsung dari udara menggunakan penyedot berukuran besar.
Kedua, pengiriman, yakni karbon yang berhasil ditangkap dikompresi dan dikirim ke lokasi penyimpanan. Tahap terakhir adalah penyimpanan, di mana gas karbon diinjeksikan jauh di bawah tanah untuk disimpan jangka panjang, biasanya di formasi geologi seperti lapisan garam, basal, atau batu bara yang tidak dapat ditambang.
Namun, perlu dicatat sekitar tiga perempat karbon yang ditangkap saat ini justru digunakan kembali untuk memompa dan mengekstrak lebih banyak minyak dari kilang.