Senin 08 Sep 2025 13:06 WIB

Persepsi Pemimpin Politik Pengaruhi Kebijakan Iklim

Riset ungkap pemimpin dunia meremehkan kepedulian publik terhadap perubahan iklim.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Perubahan iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian terbaru University of Oxford menunjukkan persepsi pembuat kebijakan memengaruhi upaya nyata dalam mengatasi perubahan iklim. Para peneliti mewawancarai 200 peserta Majelis Lingkungan PBB (UNEA) dari 53 negara.

Pertanyaan yang diajukan adalah, “Kira-kira berapa banyak populasi global yang rela menyisihkan 1 persen gajinya untuk mengatasi perubahan iklim?” Rata-rata pemimpin yang hadir di UNEA menjawab 38 persen.

Baca Juga

Namun, jajak pendapat global yang diikuti 130 ribu orang dari 125 negara tahun lalu menunjukkan 89 persen responden mengharapkan langkah nyata mengatasi krisis iklim. Sebanyak 69 persen bersedia menyisihkan 1 persen pendapatan bulanannya untuk meningkatkan aksi iklim.

Peserta UNEA yang ditanya tahun lalu tidak hanya politisi, tetapi juga pejabat PBB dan lembaga multilateral lain, termasuk 24 negosiator aktif.

“Tidak hanya pembuat kebijakan, temuan kami menunjukkan individu yang memainkan berbagai peran di pertemuan tata kelola lingkungan internasional juga bisa bekerja dengan asumsi bahwa dorongan publik pada aksi iklim tidak terlalu kuat,” kata penulis utama penelitian, Ximeng Fang, seperti dikutip dari Green Queen, Senin (8/9/2025).

Para peneliti membagi responden menjadi dua kelompok, yakni pembuat kebijakan dan nonpembuat kebijakan. Kelompok pertama terdiri atas perwakilan pemerintah dan PBB, anggota Bank Dunia, serta lembaga multilateral lainnya. Mereka memperkirakan hanya 36 persen populasi yang bersedia menyisihkan 1 persen gaji untuk aksi iklim. Sementara kelompok nonpembuat kebijakan, yang mencakup akademisi, jurnalis, lembaga non-profit, dan sektor swasta, memperkirakan 39 persen.

“Hasil menunjukkan secara statistik tidak ada banyak perbedaan persepsi antara pembuat kebijakan dan nonpembuat kebijakan,” tulis laporan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth & Environment.

Hanya 19 persen responden yang menebak angka 69 persen atau lebih tinggi. Meski sebagian besar peserta UNEA sadar lingkungan, sekitar 88 persen mengaku sangat khawatir terhadap kondisi perubahan iklim.

Salah satu penulis laporan, Stefania Innocenti, mengatakan kesenjangan persepsi dan fakta dapat menjadi penyebab lemahnya aksi politik terkait iklim. “Mungkin karena mereka meremehkan betapa besar kepedulian publik pada perubahan iklim, sehingga membatasi ambisi kebijakan mereka,” ujarnya.

Kesenjangan serupa juga terjadi di populasi umum. Masyarakat percaya hanya 42 persen orang yang bersedia menyisihkan 1 persen gajinya untuk memperkuat aksi iklim. Menurut Innocenti, hal ini mungkin dipengaruhi media dan kelompok lobi yang kerap menyoroti individu dengan sudut pandang tertentu.

“Meski diperlukan penelitian lebih lanjut sebelum kami bisa memastikan mengapa pembuat kebijakan meremehkan tekanan publik, hasil ini menunjukkan adanya persepsi yang salah,” kata Innocenti.

Penelitian tersebut mengungkap sejumlah faktor penyebab kesenjangan, antara lain minimnya diskusi publik, paparan ideologi tertentu, framing media, dan bias jajak pendapat. Kampanye kelompok lobi serta pemberitaan media terbukti mendistorsi persepsi pembuat kebijakan, sehingga mereka tidak memiliki pemahaman akurat tentang preferensi publik.

Bukti terbaru juga menunjukkan warga yang terlibat dalam proyek pembangunan lokal sering kali tidak mewakili masyarakat luas. Kurangnya kemajuan menuju nol emisi juga bisa membuat delegasi UNEA meremehkan kesediaan publik mengalokasikan dana pribadi untuk aksi iklim.

Penelitian University of Oxford ini dipublikasikan beberapa bulan sebelum Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement