REPUBLIKA.CO.ID, BARCELONA -- Para peneliti di Spanyol meneliti dampak perubahan iklim terhadap reproduksi dan keberlangsungan spesies. Selama ini, banyak ilmuwan menyatakan perubahan iklim akibat aktivitas manusia mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati.
Namun, masih belum jelas bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kelangsungan spesies. Kelompok riset Universitat Autònoma de Barcelona (UAB) yang dipimpin Profesor Aurora Ruiz-Herrera dari Institut Bioteknologi dan Biomedik (IBB-UAB) serta ICREA Acadèmia berupaya menjawab hal itu dengan meneliti reptil dan ikan, dua kelompok satwa penting bagi keseimbangan ekosistem.
Kesehatan reptil dan ikan berkaitan langsung dengan struktur dan fungsi jaringan ekosistem darat maupun laut. Dalam dua penelitian terpisah, peneliti UAB menunjukkan bagaimana perubahan suhu dapat mengubah proses reproduksi, genetika, dan evolusi reptil.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di PLOS Genetics, tim UAB menemukan suhu ekstrem memengaruhi rekombinasi genetik pada Guibé’s ground gecko (Paroedura guibeae), reptil kecil penghuni ekosistem hangat Madagaskar. Rekombinasi genetik penting karena menghasilkan keanekaragaman genetik yang meningkatkan peluang spesies beradaptasi dengan perubahan iklim.
Tim Ruiz-Herrera mengamati dalam kondisi panas, peristiwa rekombinasi meningkat, disertai fragmen DNA lebih banyak serta perubahan struktur kromosom. Hasil ini menunjukkan suhu tidak hanya memengaruhi ekspresi gen (cara gen bekerja), tetapi juga bagaimana informasi genetik diturunkan antargenerasi.
“Penelitian ini membantu kami memahami bahwa pemanasan global tidak hanya memengaruhi iklim, tetapi juga mekanisme adaptasi satwa untuk bertahan,” kata anggota tim peneliti UAB, Laura Gonzalez Rodelas, dikutip dari Eurasia Review, Senin (8/9/2025).
Penelitian kedua, yang dilakukan paralel bersama konsorsium internasional dan dipublikasikan di GigaScience milik Oxford University Press, berfokus pada Pogona vitticeps atau kadal berjanggut dari Australia.
Spesies ini dapat mengubah jenis kelaminnya jika telurnya dierami pada suhu tinggi. Fenomena itu dikenal sebagai temperature-induced sex reversal, yakni perubahan jenis kelamin yang dipicu suhu. Dalam kondisi ini, individu jantan secara genetik (kromosom ZZ) bisa berkembang menjadi betina fungsional.
Berkat kemajuan pengurutan genom, peneliti dapat mempelajari kromosom seks spesies ini secara detail, sehingga memahami bagaimana lingkungan mampu memprogram ulang perkembangan biologisnya. Pengurutan genom terbaru yang mencakup susunan lengkap kromosom seks Z dan W membuka peluang mengidentifikasi gen kunci dalam penentuan jenis kelamin sekaligus memahami bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah program genetik tersebut.
“Genom baru ini akan menjadi sumber penting untuk penelitian reproduksi spesies tertentu serta menjadi bahan komparasi bagi reptil lain,” kata anggota tim peneliti UAB, Laia Marin Gual.
Kedua penelitian itu menyampaikan pesan tegas: perubahan suhu tidak hanya memengaruhi iklim, tetapi juga kelanjutan spesies. Menurut tim UAB, temuan ini berdampak besar bagi ilmu biologi evolusi dan konservasi spesies di tengah pemanasan global.
Profesor Aurora Ruiz-Herrera menegaskan hasil penelitian ini membantu ilmuwan memahami bagaimana lingkungan dapat membentuk arsitektur genetik organisme. “Temuan ini membawa kami lebih dekat untuk mengungkap mekanisme yang memungkinkan reptil beradaptasi dan bertahan hidup dalam kondisi ekstrem,” ujarnya.
Ia menambahkan, temuan ini penting untuk mengetahui spesies yang paling rentan terhadap perubahan iklim sekaligus merancang strategi konservasi lebih efisien. “Melindungi keanekaragaman hayati berarti juga melindungi masa depan kita semua,” kata Ruiz-Herrera, yang juga Ketua Departemen Biologi Seluler, Fisiologi, dan Imunologi UAB.