Selasa 14 Oct 2025 12:48 WIB

Standar ESG dan Masa Depan Industri Nikel Nasional

Tata kelola nikel berlandaskan prinsip ESG jadi penguat perekonomian nasional

Pekerja mengolah forenikel di smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) Harita Nickel, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (16/9/2025). Harita Nickel memiliki tiga smelter dengan 16 lini produksi yang menghasilkan feronikel untuk industri baja nirkarat.
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Pekerja mengolah forenikel di smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) Harita Nickel, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (16/9/2025). Harita Nickel memiliki tiga smelter dengan 16 lini produksi yang menghasilkan feronikel untuk industri baja nirkarat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspek lingkungan, sosial dan tata kelola atau environmental, social and governance (ESG) pertambangan nikel makin disorot seiring dengan meningkatnya kebutuhan komoditas ini dalam rantai pasok global. Indonesia punya sejumlah pekerjaan rumah sebagai pemasok nikel terbesar di dunia.

Chief Executive Officer Landscape Indonesia (PT Bentang Alam Indonesia) Agus Sari mengemukakan posisi nikel dalam struktur perekonomian Indonesia makin signifikan. Hal ini tercermin dalam kontribusinya terhadap perekonomian di daerah-daerah lokasi tambang serta sumbangannya terhadap kinerja ekspor nasional.

Hanya saja, dampak ekonomi pertambangan nikel tidak bisa hanya diukur melalui standar-standar tersebut. Seiring dengan investasi nikel yang makin besar, dia berpandangan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat sekitar jauh lebih penting.

“Perlu dilihat apakah pertumbuhan ekonomi dari nikel ini menyejahterakan masyarakat, dengan aliran investasi sebesar ini, berapakah yang benar-benar dinikmati Indonesia?” kata Agus dalam forum diskusi bertajuk Memperkuat Daya Saing Global Nikel Indonesia Melalui Tata Kelola Pertambangan Berkelanjutan di Jakarta, belum lama ini.

Agus turut menyoroti soal keberlanjutan dampak ekonomi pertambangan nikel bagi masyarakat sekitar, mengingat statusnya sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbarui dan dapat habis. Korporasi pengelola tambang dan pemerintah perlu memastikan operasional tambang yang telah berhenti tidak menimbulkan masalah ekonomi sosial baru.

Pada kesempatan yang sama, Akademisi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Tri Edhi Budhi Soesilo mengemukakan bahwa standar lingkungan menjadi penentu daya saing produk Indonesia di kancah internasional. Standar ini acap kali menentukan keberterimaan produk Indonesia di negara tujuan ekspor.

“Indonesia sering disorot dengan isu lingkungan: dianggap sebagai dirty mining atau dirty nickel. Kritik ini ada benarnya, sebagaimana diakui juga sebelumnya. Namun, justru di sinilah tantangan kita: bagaimana memperbaiki praktik lingkungan agar tidak menjadi kelemahan dalam perdagangan,” kata Budhi.

Budhi menilai keterbatasan pemenuhan standar lingkungan tidak selalu datang dari keterbatasan teknologi, tetapi juga karena perilaku manusia. Banyak masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi, katanya, muncul dari perilaku yang tidak bertanggung jawab.

“Karena itu, dalam perspektif ilmu lingkungan, penting untuk melihat daya saing dari sudut bagaimana kita bisa meminimalkan isu-isu negatif. Apalagi kini standar perdagangan global banyak mensyaratkan kepatuhan terhadap prinsip ESG,” kata dia.

Sementara itu, terlepas ada inisiatif naik kelas dalam pengelolaan operasional hingga lingkungan, tantangan penerapan ESG masih menjadi pekerjaan rumah pelaku industri nikel nasional.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui pemahaman perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) terkait penerapan prinsip-prinsip environment, social, dan governance (ESG) masih sangat minim.

Sekretaris Ditjen Minerba Kementerian ESDM Siti Sumilah Rita Susilawati mengungkapkan, dari sekitar 4.500 pemegang izin usaha pertambangan (IUP), kurang dari 10% yang memahami ESG.

"Sebagai gambaran kita punya 4.500 izin usaha pertambangan, barangkali yang memahami aspek ESG itu kurang dari 10% yang besar-besar, sisanya adalah izin usaha pertambangan yang kecil-kecil yang bahkan nggak paham gitu, itu tantangan kita," ucap Siti.

Menurut Siti, penerapan prinsip-prinsip ESG pada subsektor pertambangan minerba dibutuhkan untuk pengendalian dampak pada lingkungan dan sosial. Penerapan ESG adalah salah satu tantangan dan peluang untuk keberlanjutan usaha dan meningkatkan daya saing.

Di sisi lain, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pemerintah harus membuat payung hukum untuk penerapan ESG pada perusahan tambang.

Menurutnya, regulasi dibutuhkan agar perusahaan terpacu dan wajib menjalankan ESG.

"Karena ESG ini harus diatur di aturan, regulasi. Karena kenapa? Berbicara punishment, berbicara sanksi, dan berbicara kewajiban. Itu saja sih. Jadi kita lagi kasih masukan ke pemerintah, mudah-mudahan bisa selesai," ucap Meidy.

Meidy menambahkan bahwa penerapan ESG itu harus sesuai dengan kondisi Indonesia. Namun, dapat diterima pasar internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement