Selasa 21 Oct 2025 12:20 WIB

Wakaf Hijau Jadi Solusi Alternatif Pembiayaan Krisis Iklim

Wakaf hijau dinilai mampu bantu pendanaan transisi energi dan ekonomi hijau.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Konsep wakaf hijau (green waqf) digadang menjadi instrumen alternatif pembiayaan berkelanjutan berbasis nilai spiritual. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Konsep wakaf hijau (green waqf) digadang menjadi instrumen alternatif pembiayaan berkelanjutan berbasis nilai spiritual. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis iklim kini tak lagi sekadar isu lingkungan, tetapi telah menjadi ancaman kemanusiaan. Kebutuhan pendanaan untuk transisi energi dan pelestarian alam dinilai mendesak, sementara kemampuan fiskal negara terbatas. Di tengah kondisi itu, konsep wakaf hijau (green waqf) digadang menjadi instrumen alternatif pembiayaan berkelanjutan berbasis nilai spiritual.

“Perubahan iklim ini bukan hanya tantangan lingkungan, tetapi juga tantangan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan,” ujar Manajer Pengembangan Kerja Sama dan Pengelolaan Unit Usaha FEB UI, Edward Tanujaya, dalam peluncuran policy brief “Pengembangan Wakaf Hijau sebagai Instrumen Alternatif Pendanaan untuk Mengatasi Perubahan Iklim di Indonesia”, di Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Baca Juga

Edward menilai keberlanjutan seharusnya tidak dipandang sekadar isu keuangan atau aktivisme lingkungan, melainkan juga bagian dari kesadaran beragama. Menurutnya, wakaf berpotensi besar bertransformasi menjadi instrumen yang turut memperkuat ketahanan lingkungan.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menilai krisis iklim sudah memasuki tahap kritis dan membutuhkan langkah nyata lintas sektor. Pemerintah, kata dia, telah mendorong transisi energi dari fosil ke energi terbarukan seperti matahari, angin, air, dan panas bumi.

“Kebutuhan pendanaannya sangat besar, karena itu seluruh potensi keuangan harus digali, baik konvensional maupun syariah,” ujar Eddy. Ia menekankan, wakaf syariah dapat menjadi instrumen pembiayaan yang mendukung transisi energi dan pelestarian lingkungan.

Eddy mengapresiasi munculnya inisiatif wakaf hijau yang menggabungkan nilai keagamaan dengan keberlanjutan. “Bumi kita sudah memberi tanda-tanda sakit dan meminta pertolongan. Mari bersama menjaga bumi, karena kerusakan alam adalah akibat ulah manusia,” tuturnya.

Senada, Direktur Keuangan Sosial Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Dwi Irianti Hadiningdyah menyebut green waqf merupakan aktualisasi spiritual sekaligus strategi keberlanjutan ekonomi. Menurutnya, Indonesia membutuhkan lebih dari 300 miliar dolar AS hingga 2030 untuk pembiayaan aksi iklim, jumlah yang tak mungkin ditanggung APBN semata.

“Di sinilah peran wakaf hijau menjadi penting sebagai sumber pendanaan alternatif berbasis nilai dan keadilan sosial,” ujar Dwi.

Ia mengungkapkan, luas tanah wakaf nasional mencapai lebih dari 57 ribu hektare di 430 ribu lokasi. Jika hanya 10 persen dioptimalkan untuk proyek hijau seperti pertanian organik atau energi terbarukan, dampaknya akan signifikan bagi ekonomi hijau nasional.

Menurut Dwi, inisiatif wakaf hijau sejalan dengan kebijakan nasional seperti Green Taxonomy yang disusun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kementerian terkait. Instrumen ini juga mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya untuk energi bersih, aksi iklim, dan kehidupan di darat.

“Melalui wakaf hijau, kita tidak hanya berbicara soal ibadah sosial, tetapi juga peradaban ekologis Islam. Islam menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga, bukan merusak,” tegasnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement