REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Di tengah rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PTLU) Cirebon 1, masyarakat di sekitar PLTU masih mempertanyakan kompensasi keberadaan PLTU. Sejak PLTU mulai beroperasi di wilayah pesisir Cirebon, kehidupan Nilayati, seorang istri nelayan dari Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, berubah drastis.
Dulu, bersama suaminya, ia bisa hidup dari hasil laut dan mengolah rebon menjadi terasi, salah satu produk unggulan daerah itu. Kini, hasil laut menipis, rebon makin sulit didapat, dan perahu yang dulu menjadi tumpuan hidup terpaksa dijual untuk bertahan hidup.
“Tadinya sebelum ada PLTU tuh, alhamdulillah, mencari ikan satu-tiga hari bisa untuk satu bulan. Kalau sekarang, ada buat makan besok aja udah alhamdulillah," katanya, Senin (10/11/2025).
Ia menuturkan, sebelum PLTU berdiri, suaminya setiap hari melaut dan mereka bisa menjual beberapa ember hasil tangkapan. Dari situ mereka membeli motor, bahkan memiliki perahu sendiri.
Menurut Nilayati, banyak warga nelayan kehilangan sumber penghasilan akibat pencemaran laut dan perubahan suhu air di sekitar wilayah tangkap. Ia menilai kondisi itu membuat banyak anak nelayan terpaksa merantau ke Jakarta atau Kalimantan untuk bekerja menjadi buruh bangunan. Harapan agar anak-anak nelayan bisa bekerja di PLTU pun, katanya, tak pernah terwujud.
“Katanya anak nelayan bisa masuk kerja di PLTU, tapi kenyataannya nggak ada. Anak saya mau kerja saja harus keluar uang, jadi akhirnya merantau,” ucapnya.
Nilayati juga menyinggung soal bantuan yang dijanjikan kepada kelompok nelayan dan ibu-ibu pengolah hasil laut. Ia menyebut hanya menerima bantuan kecil yang tidak sepadan dengan kebutuhan usaha.
“Katanya dikasih lima juta buat usaha, tapi lima juta itu buat berapa orang? Bikin terasi saja nggak cukup. Beli rebon, alat, bayar orang, itu semua butuh banyak,” ujarnya. Bantuan itu, katanya, justru menimbulkan konflik di antara warga.
Kini, Nilayati bersama warga lain beralih membuat garam, meski hasilnya sangat bergantung pada cuaca. “Kalau garam masih bisa, tapi kalau laut sudah nggak bisa. Tanah yang dulu kami kelola juga banyak yang diambil alih,” ujarnya.
Dampak PLTU Cirebon 1, pada hasil tangkapan nelayan Desa Kanci, diamini tetangga Nilayati, Mijan yang sehari-hari juga berprofesi sebagai nelayan. "Sekarang hasil tangkapan paling hanya Rp30-40 ribu, dulu Rp50-100 ribu dapat, belum ada pencemaran sih," katanya.
PLTU Cirebon 1 dikelola PT Cirebon Electric Power (CEP) yang berdiri di tahun 2007. PLTU ini merupakan konsorsium dari beberapa perusahaan multinasional seperti: Marubeni Corporation, Indika Energy, Korean Midland Power (KOMIPO), dan Samtan Corporation.
PLTU Cirebon 1 mulai beroperasi di tahun 2012 dan memiliki kapasitas 660 MegaWatt. PLTU ini mengonsumsi sekitar 2,3 juta ton batu bara setiap tahunnya. Menggunakan teknologi ultra-supercritical, pembangkit ini beroperasi pada tekanan uap sebesar 250 bar dan suhu uap mencapai 569 derajat Celsius yang memungkinkan efisiensi termal yang lebih tinggi dibandingkan teknologi konvensional.
Proyek ini dibangun dengan skema PPA (Power Purchase Agreement) berjenis BOO (Build, Own, Operate) dengan masa kontrak selama 30 tahun. Total investasi yang disalurkan untuk pembangunan unit ini mencapai 877,5 juta dolar AS. Listrik yang dihasilkan disalurkan melalui jalur transmisi sepanjang lebih dari 1,5 kilometer untuk mendukung pasokan energi di sistem kelistrikan nasional.
PLTU ini berkontribusi signifikan dalam pemenuhan kebutuhan listrik di Jawa dan Bali karena menghasilkan sekitar 5.500 GWh (Gigawatt hours) per tahun. Menanggapi keluhan masyarakat sekitar PLTu, Wakil Direktur Utama Cirebon Power, Joseph Pangalila, mengatakan perusahaan tidak berupaya memengaruhi pandangan masyarakat, namun berkomitmen melakukan yang terbaik terutama dalam hal lingkungan.
"Pertama kami memang tidak berusaha untuk misalnya mempengaruhi seseorang mau berbicara apa, yang coba kami lakukan adalah yang bisa kami lakukan yang terbaik," katanya di Focus Group Discussion Harapan Masyarakat di Tengah Rencana Pensiun Dini PLTU Cirebon yang digelar Katadata Green di Cirebon.
Ia menyebut pihaknya rutin melakukan studi independen bersama lembaga akademik, termasuk Pusat Studi Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk meneliti potensi dampak operasional PLTU terhadap kesehatan masyarakat dan kondisi sekitar.
Selain aspek lingkungan, Cirebon Power juga menjalankan sejumlah program pemberdayaan masyarakat, termasuk pelatihan vokasional bagi warga sekitar. “Kami bekerjasama dengan desa untuk mengadakan pelatihan perbaikan sepeda motor, AC, kulkas, dan elektrikal rumah tangga, sesuai kebutuhan masyarakat,” kata Joseph.
Joseph menambahkan, program bantuan bagi kelompok nelayan dilakukan secara bergilir agar manfaatnya dirasakan merata. “Kami tidak bisa hanya mendukung satu kelompok terus-menerus karena nanti kelompok lain protes. Jadi kami bantu bergantian agar semuanya dapat kesempatan,” ujarnya.
Ia juga menuturkan Cirebon Power telah memberikan program asuransi bagi nelayan sejak hampir sepuluh tahun lalu. “Kalau nelayan melaut dan terjadi kecelakaan, mereka kehilangan penghasilan. Karena itu kami mengasuransikan sekitar 40 ribu nelayan agar terlindungi,” katanya.
Berdasarkan catatan Cirebon Power program vokasi yang mereka dirikan sejak 2018 sudah diikuti 1.800 orang. Program itu memberikan pelatihan untuk teknisi otomotif, perbaikan kulkas, instalasi kelistrikan, las, desain grafis dan lain-lain. Di Desa Kanci, Cirebon Power juga membantu peternak ikan lele dan kepiting.