REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Tiga belas tahun yang lalu nelayan Desa Waruduwur, Cirebon, dapat menghidupi keluarga mereka. Salah satu nelayan, Dama, masih ingat, dulu setiap hari ia dapat menangkap dua sampai satu kilogram rajungan atau kepiting laut.
Kini hasil tangkapannya tidak pasti. Tidak jarang Dama hanya berhasil menangkap lima sampai sepuluh ekor rajungan yang biasanya ia jual di tengkulak setempat. Perubahan hasil tangkap dimulai sejak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon 1 pada 2012 yang lalu.
Dama mengatakan kini butuh 20 liter solar untuk mendapatkan cukup rajungan untuk dijual demi memenuhi kebutuhan hidup. Putrinya, Nuryati mengatakan satu liter solar seharga Rp 9.000, maka ongkos mencari rajungan mencapai Rp 180 ribu.
"Kalau hasil tangkapan kurang dari satu kilogram, masih bisa buat beli solar lagi, kalau ngga dapat satu kilo, gimana, utang lagi," kata Nuryati di kediaman keluarga Dama.
Keluarga Dama satu dari ratusan keluarga nelayan di Desa Waruduwur yang terdampak keberadaan PLTU Cirebon. PLTU Cirebon 1 di Jawa Barat masuk dalam skema Energy Transition Mechanism (ETM) Asian Development Bank (ADB) dan juga terintegrasi dalam pipeline Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai proyek percontohan pensiun dini PLTU.
Keluarga Dama mengatakan mereka tidak banyak mengetahui tentang rencana pensiun dini PLTU tersebut. Mereka mengatakan hanya pernah mendengar sekilas dari para tetangga ada rencana penutupan PLTU. Tapi tidak lebih dari itu.
Rosita dan Tarsini, tetangga keluarga Dama, mengatakan beberapa tahun yang lalu ada sejumlah pegawai PLTU yang dioperasikan Cirebon Power, yang memeriksa dan menghitung jumlah rumah yang retak. Tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya.
Dama juga mengatakan saat PLTU Cirebon 1 mulai beroperasi, perusahaan memberikan jaring tangkap ikan. Tapi setelah tiga kali, tidak ada kompensasi apa pun dari Cirebon Power.
Rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1 didorong ambisi pemerintah untuk melakukan transisi energi. Sektor energi di Indonesia masih didominasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya batu bara, yang diidentifikasi sebagai salah satu kontributor emisi karbondioksida nasional.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2025, bauran energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai sekitar 13,2 persen, belum dapat memenuhi target 23 persen pada periode yang sama.
Kondisi ini mendesak pemerintah untuk mempercepat investasi dan reformasi kebijakan di sektor energi untuk dapat mengejar pemenuhan target bauran EBT sebesar 34,3 persen pada 2034.
Pemerintah Indonesia juga harus mengejar target pengurangan emisi yang ditetapkan sendiri (NDC) sebesar 31,89 persen secara mandiri, atau hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Salah satu instrumen kebijakan yang mulai diterapkan untuk mendorong dekarbonisasi adalah Energy Transition Mechanism (ETM). Skema pensiun dini pembangkit batu bara melalui mekanisme pendanaan ulang (refinancing).
PLTU Cirebon 1 ditunjuk sebagai proyek percontohan ETM oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2023. Sebab PLTU ini telah beroperasi sejak 2012 dan saat ini memasuki separuh masa kontraknya hingga 2045.
Pertimbangan lain PLTU ini juga dinilai memiliki rekam jejak program tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) yang cukup aktif dan hubungan yang relatif stabil dengan komunitas lokal. Refinancing untuk PLTU Cirebon 1 diajukan pertama kali pada 2022/2023 dengan syarat PLTU Cirebon 1 akan dihentikan lebih awal dari jadwal semula.
Pada Desember 2023, ADB, PT PLN, dan PT Cirebon Electric Power menandatangani kerangka perjanjian tidak mengikat di COP28. Mereka sepakat secara prinsipil untuk mempersingkat masa kontrak jual beli listrik (PPA) dari Juli 2042 menjadi Desember 2035.
Artinya, jika transaksi ini terealisasi, PLTU akan berhenti beroperasi sekitar 10 tahun lebih awal dari jadwal awal. Finalisasi skema ini semula ditargetkan pada paruh pertama 2024, namun hingga Maret 2025 belum ada informasi resmi mengenai penutupan transaksi.
Hingga saat ini tidak banyak yang diketahui tentang rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1. Tidak hanya warga sekitar PLTU. Cirebon Power yang mengoperasikan PLTU Cirebon 1 juga belum mendapat kejelasan mengenai rencana tersebut.
Mengenai dampak lingkungan PLTU Cirebon 1, Wakil Direktur Utama Cirebon Power Joseph Pangalila mengatakan PLTU Cirebon 1 menggunakan teknologi Supercritical dan Ultra-Supercritical Boiler yang bersih dan ramah lingkungan (Clean Coal Technology) dengan nilai efisiensi tinggi dan emisi rendah (High Efficiency Low Emission / HELE).
"Kami yang pertama menerapkan teknologi ini di Indonesia, jadi sebelum semua orang ngomong lingkungan, di tahun 2000-an kami sudah berpikir ke lingkungan," kata Joseph dalam forum group discussion (FGD) "Harapan Masyarakat di Tengah Rencana Pensiun Dini PLTU Cirebon", yang digelar Kata Data Green, Selasa (11/11/2025).
Joseph menjelaskan unit cooling tower pembangkit listrik Cirebon Power menggunakan air laut yang didaur ulang, bukan air tanah. “Air yang keluar dari sana hanya make up water. Kalau datang ke lapangan bisa dilihat sendiri, air yang keluar sedikit sekali, kualitas dan temperaturnya bisa diukur," katanya.
Make-up water merupakan air tambahan yang diinjeksikan ke dalam siklus air uap untuk mengganti kehilangan air akibat kebocoran atau penguapan. Joseph juga menekankan kepatuhan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan.
Ia mengatakan Cirebon Power terhubung langsung secara real-time dengan Simpul Pelaporan Elektronik (SIMPEL) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian ESDM terkait pelaporan lingkungan dan pemantauan emisi. “Kami lapor rutin secara rutin mengenai lingkungan, kami sangat patuh terhadap lingkungan,” ujarnya.
Mengenai emisi, Joseph mengklaim data menunjukkan emisi Cirebon Power sangat rendah. “Kalau emisi kita dibandingkan dengan standar baku bukan cuma Indonesia tapi standar baku internasional pun kita sangat rendah, jauh di bawah," katanya.
Joseph juga menyoroti program konservasi mangrove yang dilakukan perusahaan di lahan yang sebelumnya terbengkalai.
“Lahan yang kami pilih dulu itu adalah lahan bekas tambak garam yang terlantar, enggak kepakai. Benar-benar lahan bekas tambak garam yang enggak bisa dimanfaatkan,” jelas Joseph, menceritakan kembali survei lahan pada tahun 2007.
Ia menunjukkan perbandingan foto tahun 2007 di mana kawasan tersebut hancur dan terlantar, hingga kondisi tahun 2015 dan 2025 di mana pohon mangrove tumbuh subur. “Sampai saat ini sudah hampir 200.000 pohon mangrove yang tertanam,” katanya.
Selain penanaman, Joseph mengatakan Cirebon Power juga menggunakan pihak ketiga yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk uji diversifikasi. Asesmen menunjukkan kegiatan konservasi Cirebon Power meningkatkan keanekaragaman hayati, baik burung-burung maupun biota laut di kawasan mangrove tersebut.
Ia menambahkan Cirebon Power juga aktif dalam program pemberdayaan sosial ekonomi. Joseph mengungkapkan program pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta pelatihan vokasi.
“Kita sudah melatih cukup banyak masyarakat. Total sudah lebih dari 1.400 orang,” ungkapnya.
Fokus pelatihan, lanjutnya, adalah meningkatkan ekonomi masyarakat, memastikan pelatihan dapat langsung diaplikasikan, dan membantu para peserta dengan keterampilan tambahan (soft skill) seperti Bahasa Inggris dan komputer, hingga pelatihan kewirausahaan (entrepreneurial).
Perusahaan juga membangun Taman Cirebon sebagai ruang terbuka publik, lengkap dengan gedung warga dan perpustakaan, yang menurutnya tidak dimiliki oleh Kabupaten Cirebon.
Mengenai rencana refinancing dalam skema Energy Transition Mechanism (ETM) atau Pemensiunan PLTU (Pensiun Dini), Joseph menekankan program ini merupakan program pemerintah yang didukung oleh Cirebon Power sebagai peserta sukarela (volunteer).
“Kami yang dipilih oleh Asian Development Bank (ADB) untuk melakukan [program] ini,” jelas Joseph.
Pemilihan Cirebon Power, menurutnya, berdasarkan tiga kriteria utama dari ADB: Pertama karena pengoperasian pembangkit PLTU Cirebon 1 dilakukan dengan baik, karena skema tersebut adalah refinancing (pembiayaan kembali),
Kedua, karena pengelolaan lingkungan yang baik, sesuai standar Indonesia dan internasional dan yang ketiga program pemberdayaan masyarakat Cirebon Power sesuai dengan kriteria ADB.
Mengenai status rencana pensiun dini PLTU, Joseph menyebutkan keputusan akhir berada di tangan pemerintah pusat. “Kami hanya menunggu. Kalau dilaksanakan, ayo. Kalau tidak dilaksanakan, juga kita tidak ada masalah,” pungkasnya.