REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memicu desakan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam di kawasan tersebut. Para pakar menilai bencana berulang di Sumatera bukan hanya dipicu anomali iklim, melainkan akumulasi persoalan tata kelola lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun.
Pernyataan itu mengemuka menyusul seruan “taubatan nasuha” dari Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar yang menyinggung kebijakan sektor lingkungan, kehutanan, dan energi. Muhaimin menilai bencana besar di Sumatera harus dibaca sebagai peringatan atas cara negara memperlakukan alam. Sentilan tersebut kemudian memicu respons akademisi dan peneliti yang menilai perlunya perubahan mendasar.
Pakar Hukum Agraria Syaiful Bahari menilai banjir Sumatera mencerminkan kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan, pemberian izin tambang, skema pinjam-pakai kawasan hutan, serta pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). “Banjir Sumatera bukan kesalahan iklim, banjir Sumatera merupakan kesalahan sistemik. Iklim hanya pemicu, akar masalahnya banyak,” ujar Syaiful dalam keterangannya, Rabu (3/12/2025).
Ia menyebut ketidakseimbangan antara populasi, daya dukung ekologi, dan ekspansi usaha ekstraktif menjadi faktor utama kerentanan bencana.
Menurut Syaiful, aktivitas ekstraktif yang masif, mulai dari pertambangan, kehutanan, hingga pertanian skala besar, mengubah bentang alam dan mengurangi kemampuan kawasan dalam menahan air.
Ia menilai sebagian besar lahan ekstraktif tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat serta menimbulkan konflik horizontal dan vertikal. “Negara tidak melihat ini sebagai ancaman, padahal berlangsung sangat lama,” ucapnya.
Syaiful menekankan bahwa Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi pijakan utama dalam mengelola kekayaan alam. Ia menilai pemerintah perlu kembali pada prinsip bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. “Pemerintah harus kembali pada Pasal 33 ayat 1, 2, 3,” ujarnya.
Peneliti BRIN Syamsurijal Adhan menyebut penanganan banjir Sumatera membutuhkan “taubat struktural” dalam perumusan kebijakan lingkungan. “Taubat dengan sungguh-sungguh dalam membuat kebijakan, taubat cara pandang, taubat ekologi,” kata Syamsurijal. Ia mengkritik kecenderungan menyalahkan iklim, padahal kebijakan alih fungsi lahan dan pertambangan memiliki kontribusi besar.
Syamsurijal menilai tata kelola lingkungan harus dievaluasi radikal agar orientasi kebijakan berubah. Ia menyinggung penerapan hutan tanaman industri yang dinilai merusak hutan primer namun tetap diberi ruang atas nama peningkatan daya serap karbon. “Fungsi keduanya berbeda. Pemerintah perlu evaluasi izin hutan dan izin tambang, kalau perlu moratorium,” ujarnya.
Pengamat sawit Mansuetus Darto juga mendorong moratorium perizinan kehutanan dan tambang. Ia meminta pemerintah mempercepat rehabilitasi hutan serta pemulihan pascatambang yang selama ini dinilai tertinggal jauh dibanding kemudahan izin eksploitasi. “Isu lingkungan dianggap receh, padahal ribuan nyawa hilang karena isu ini diperlakukan angin lalu,” kata Darto.
Darto menegaskan rehabilitasi pascatambang harus menjadi prioritas karena praktik lapangan menunjukkan izin eksplorasi dan eksploitasi lebih mudah dibanding pemulihan lokasi tambang. Ia berharap pemerintah menempatkan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pemanfaatan ruang ke depan.