Jumat 05 Dec 2025 16:26 WIB
Indepth

Menagih Janji Transisi Energi

Kisah yang dialami warga Cirebon menunjukkan betapa pentingnya transisi energi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
PLTU Cirebon I yang rencananya akan 'pensiun dini' pada 2035.
Foto: Dok Cirebon Power
PLTU Cirebon I yang rencananya akan 'pensiun dini' pada 2035.

OLEH Lintar Satria, Jurnalis Republika

Sekitar satu dekade lalu, Dama, nelayan Desa Waruduwur, Cirebon, hanya butuh beberapa jam di laut untuk membawa pulang satu hingga dua kilogram rajungan. Cukup untuk menafkahi keluarga, cukup untuk esok hari. Tapi kini ceritanya berbeda.

Baca Juga

Hasil tangkapannya kini tidak pasti. Tidak jarang Dama hanya bisa membawa pulang lima sampai 10 ekor rajungan yang biasanya ia jual ke tengkulak setempat. Perubahan hasil tangkap terjadi setelah keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di wilayahnya sejak 2012.

Dama mengisahkan, kini butuh 20 liter solar untuk mendapatkan cukup rajungan untuk dijual demi memenuhi kebutuhan hidup. Putrinya, Nuryati, mengatakan dengan satu liter solar seharga Rp9.000, maka ongkos mencari rajungan mencapai Rp180 ribu.

"Kalau hasil tangkapan bisa dapat satu kilogram, masih bisa buat beli solar lagi, kalau nggak dapat satu kilo, gimana, utang lagi," kata Nuryati di kediaman keluarga Dama, pertengahan November.

Keluarga Dama satu dari ratusan keluarga nelayan di Desa Waruduwur yang terdampak keberadaan PLTU Cirebon. PLTU Cirebon 1 di Jawa Barat masuk dalam skema Energy Transition Mechanism (ETM) Asian Development Bank (ADB) dan juga terintegrasi dalam pipeline Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai proyek percontohan pensiun dini PLTU.

Keluarga Dama mengaku tidak banyak mengetahui tentang rencana pensiun dini PLTU tersebut. Mereka hanya pernah mendengar sekilas dari para tetangga bahwa akan ada rencana penutupan PLTU. Tapi tidak lebih dari itu.

Rosita dan Tarsini, tetangga keluarga Dama, menceritakan, beberapa tahun lalu ada sejumlah pegawai PLTU yang memeriksa dan menghitung jumlah rumah yang retak. Tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya.

Dampak serupa dialami Nilayati, seorang istri nelayan dari Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura. Di tengah rencana pensiun dini PLTU, masyarakat di sekitar PLTU masih mempertanyakan kompensasi keberadaan PLTU.

Dulu, bersama suaminya, ia bisa hidup dari hasil laut dan mengolah rebon menjadi terasi, salah satu produk unggulan daerah itu. Kini, hasil laut menipis, rebon makin sulit didapat, dan perahu yang dulu menjadi tumpuan hidup terpaksa dijual untuk bertahan hidup.

“Tadinya sebelum ada PLTU, alhamdulillah, mencari ikan satu-tiga hari bisa untuk satu bulan. Kalau sekarang, ada buat makan besok saja sudah alhamdulillah," katanya, Senin (10/11/2025).

Ia menuturkan, sebelum PLTU berdiri, suaminya setiap hari melaut dan mereka bisa menjual beberapa ember hasil tangkapan. Dari hasil itu mereka mampu membeli motor, bahkan memiliki perahu sendiri.

photo
Nilayati, istri nelayan dari Desa Kanci, Cirebon, menceritakan perubahan drastis dalam hidupnya setelah beroperasinya PLTU Cirebon 1. Hasil tangkapan laut menipis, membuat ia dan suaminya terpaksa menjual perahu, tumpuan hidup mereka, Senin (13/10/2025). - (Lintar Satria)

Menurut Nilayati, banyak warga nelayan kehilangan sumber penghasilan akibat pencemaran laut dan perubahan suhu air di sekitar wilayah tangkap. Ia menilai kondisi itu membuat banyak anak nelayan terpaksa merantau ke Jakarta atau Kalimantan untuk bekerja menjadi buruh bangunan. Harapan agar anak-anak nelayan bisa bekerja di PLTU pun, katanya, tak pernah terwujud.

“Katanya anak nelayan bisa masuk kerja di PLTU, tapi kenyataannya tidak ada. Anak saya mau kerja saja harus keluar uang, jadi akhirnya merantau,” ucapnya.

Kini, Nilayati bersama warga lain beralih membuat garam, meski hasilnya sangat bergantung pada cuaca. “Kalau garam masih bisa, tapi kalau laut sudah tidak bisa. Tanah yang dulu kami kelola juga banyak yang diambil alih,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement