REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 telah merenggut 930 korban jiwa berdasarkan data BNPB per Senin (8/12/2025). Organisasi advokasi lingkungan Trend Asia menilai bencana ini bukan sekadar dampak cuaca ekstrem, tetapi konsekuensi dari pembiaran aktivitas ekstraktif yang melemahkan daya dukung ekosistem di Sumatera.
Kondisi itu, menurut mereka, membuat tiga provinsi tersebut kian rentan terhadap banjir dan longsor. Laporan Trend Asia, JATAM, dan Bersihkan Indonesia pada 2021 menyebut terdapat 704 konsesi pertambangan di kawasan berisiko tinggi banjir di Sumatera, mencakup 1,49 juta hektare lahan, atau sekitar tiga kali luas Pulau Bali. Selain itu, 187 konsesi dengan luas hampir 887 ribu hektare berada di wilayah yang rawan longsor.
Data terbaru Trend Asia (2025) menunjukkan kerusakan hutan terus berlangsung selama satu dekade terakhir. Tiga provinsi terdampak bencana tercatat kehilangan hutan alam seluas 3,67 juta hektare. Aceh kehilangan 1,01 juta hektare hutan, Sumatera Barat 1,04 juta hektare, dan Sumatera Utara sebagai provinsi dengan dampak bencana paling parah, kehilangan 1,6 juta hektare.
Di wilayah yang kini terdampak bencana ekologis itu, terdapat 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area seluas 1,01 juta hektare. Sumatera Utara, yang juga menjadi episentrum banjir dan longsor, memiliki izin PBPH terbanyak yakni 15 izin dengan cakupan lebih dari 592 ribu hektare. Sebagian besar izin tersebut terbit pada 2021, tahun yang juga ditandai lonjakan deforestasi signifikan dari 414 ribu hektare menjadi 635 ribu hektare pada 2022.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza mengkritik klaim pemerintah mengenai penurunan angka deforestasi pada tahun ini. "Dampak kumulatifnya terasa hari ini,” ujar Amalya dalam pernyataannya, Ahad (7/12/2025).
Ia menilai laju kerusakan hutan tidak dapat dilepaskan dari serangkaian deregulasi, mulai dari revisi UU Minerba hingga Omnibus Law UU Cipta Kerja, yang dinilai mempermudah investasi namun mengabaikan risiko ekologis dan hak masyarakat.
Amalya menegaskan rangkaian kebijakan “berorientasi jangka pendek” itu memperburuk kerentanan di Aceh, Sumut, dan Sumbar, diperparah oleh situasi cuaca seperti fase La Niña dan Siklon Senyar yang berlangsung bersamaan pada puncak musim hujan di Selat Malaka.
Trend Asia juga menyoroti penanganan darurat yang dinilai belum merata. Mereka menerima laporan terkait bantuan yang belum menjangkau seluruh wilayah terdampak, keterbatasan personel untuk pencarian korban hilang, serta kelangkaan bahan pokok.
“Oleh karena itu, pemerintah harus tegas untuk mencari penyebab bencana ekologis dengan mengevaluasi semua perizinan serta mencabut izin perusahaan bermasalah dan terbukti melanggar serta memicu banjir. Pemerintah pusat juga harus menetapkan bencana banjir di Sumatera sebagai bencana nasional. Keselamatan rakyat harus diutamakan,” kata Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali.