REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah laporan terbaru dari United Nations University memperingatkan bahwa dunia akan menghadapi enam titik kritis, dimana sistem sosio-ekologi global tidak mampu lagi menahan risiko dan menyediakan fungsi yang diharapkan. Keadaan ini pada akhirnya bisa memicu risiko bencana yang meningkat secara substansial.
"Ketika kita mendekati titik kritis ini, kita sudah mulai merasakan dampaknya. Sekali melewatinya, akan sulit untuk kembali,” kata salah satu penulis utama dari United Nations University, Jack O'Connor, seperti dilansir Cosmo Magazine, Jumat (27/10/2023).
Merujuk pada laporan PBB bertema 'The Interconnected Disaster Risks Report 2023', berikut enam titik kritis risiko yang perlu diwaspadai oleh semua pihak.
1. Laju kepunahan berjalan cepat
Laju kepunahan spesies saat ini berjalan lebih cepat sekitar 10 hingga 100 kali lipat dari laju alamiah Bumi. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas manusia yang intens. Risikonya, ketika sebuah ekosistem kehilangan spesies, maka bisa merembet pada kepunahan spesies lain yang bergantung padanya. Fenomena ini pada akhirnya dapat menyebabkan runtuhnya seluruh ekosistem.
2. Penipisan air tanah
Sumber daya air tawar di akuifer memasok air minum untuk lebih dari 2 miliar orang dan digunakan untuk pertanian. Namun, lebih dari separuh akuifer utama di dunia menipis lebih cepat daripada yang dapat diisi ulang secara alami.
Risikonya, ketika permukaan air turun di bawah tingkat yang dapat diakses oleh sumur-sumur yang ada, seluruh sistem produksi pangan berisiko mengalami kegagalan.
3. Gletser mencair
Gletser menyimpan air tawar dalam jumlah besar, dan air lelehannya digunakan untuk air minum, irigasi, pembangkit listrik tenaga air, dan lainnya. Namun, gletser kini mencair lebih cepat daripada es yang dapat digantikan oleh salju. Risikonya adalah peak water, sebuah kondisi ketika gletser menghasilkan volume maksimum limpasan air akibat pencairan. Setelah titik ini, ketersediaan air tawar akan terus menurun.
4. Puing-puing luar angkasa
Sampah antariksa melaju dengan kecepatan lebih dari 25 ribu kilometer per jam dan dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan jika bertabrakan dengan benda angkasa lain. Selain itu, hal tersebut bisa menciptakan lebih banyak lagi sampah di Bumi. Risikonya, ketika orbit Bumi dipenuhi dengan puing-puing, maka berpotensi memicu reaksi berantai, yang akan mengancam kemampuan manusia untuk mengoperasikan satelit.
5. Suhu panas yang tak tertahankan
Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan kenaikan suhu global. Titik kritisnya adalah suhu bola basah -pengukuran yang menggabungkan suhu dan kelembaban- di atas 35 derajat Celcius. Kelembaban yang tinggi memperburuk efek panas karena menghambat penguapan keringat, yang diperlukan untuk mempertahankan suhu inti tubuh yang stabil dan menghindari kegagalan organ dan kerusakan otak.
6. Ketidakpastian masa depan
Perubahan iklim meningkatkan kerusakan akibat bencana yang berhubungan dengan cuaca, dan jumlah serta luasnya area yang berisiko diperkirakan akan meluas. Titik kritis bisa terjadi ketika asuransi sudah kolaps, sehingga masyarakat tidak memiliki sistem pengaman ekonomi saat bencana melanda, yang pada akhirnya membuka konsekuensi sosial ekonomi.