Jumat 03 Nov 2023 19:29 WIB

WHO: Perubahan Iklim Bisa Meruntuhkan Kemajuan di Bidang Kesehatan  

Krisis iklim dapat memicu munculnya wabah penyakit.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Perubahan iklim berkontribusi pada krisis kesehatan. (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim berkontribusi pada krisis kesehatan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemajuan yang telah dicapai selama puluhan tahun dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan manusia berisiko mengalami kemunduran seiring dengan memanasnya suhu bumi. Demikian menurut laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas mengatakan bahwa saat ini sektor kesehatan membutuhkan akses informasi dan layanan iklim yang disesuaikan, guna menghadapi risiko bencana kesehatan yang disebabkan krisis iklim.

Baca Juga

"Jelas bahwa dengan menyalurkan investasi dan meningkatkan kolaborasi, ada potensi besar untuk melangkah lebih jauh dengan meningkatkan studi dan layanan iklim. Dengan begitu para ahli dan berbagai lembaga kesehatan bisa mempersiapkan diri menghadapi bencana iklim yang terus meningkat,” kata Taalas seperti dilansir Anadolu, Jumat (3/11/2023).

Laporan tersebut juga mengutip kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus yang menggarisbawahi dengan kolaborasi, layanan iklim berkualitas tinggi dapat lebih mudah diakses oleh sektor kesehatan.

"Krisis iklim adalah krisis kesehatan, yang mendorong terjadinya peristiwa cuaca yang lebih parah dan tidak dapat diprediksi, memicu wabah penyakit, dan berkontribusi terhadap peningkatan penyakit tidak menular," Tedros memperingatkan.

Menurut laporan, hampir tiga perempat layanan meteorologi dan hidrologi nasional menyediakan data iklim untuk sektor kesehatan, sementara kurang dari seperempat kementerian kesehatan memiliki sistem pengawasan kesehatan yang memanfaatkan informasi meteorologi untuk memantau risiko kesehatan yang sensitif terhadap iklim. 

Laporan ini memproyeksikan total 560 kejadian bencana berskala sedang hingga besar terjadi setiap tahun pada tahun 2030, atau setara dengan tiga kejadian setiap dua hari. Laporan tersebut memperkirakan negara-negara yang tidak memiliki sistem peringatan dini yang memadai akan mengalami tingkat kematian delapan kali lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang memiliki skema peringatan dini berskala besar.

"Perubahan iklim merusak faktor penentu kesehatan dan meningkatkan tekanan pada sistem kesehatan yang mengancam untuk membalikkan kemajuan selama beberapa dekade dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia, terutama pada masyarakat yang paling rentan," kata laporan tersebut, dengan menambahkan bahwa 50 persen kematian tambahan akibat perubahan iklim di masa depan diproyeksikan akan terjadi di Afrika.

Laporan WHO dan WHO juga menekankan bahwa panas ekstrem menyebabkan kematian terbesar, bisa mencapai 30 kali lipat lebih tinggi dari yang tercatat saat ini. Namun sayangnya, lembaga kesehatan di beberapa negara yang terkena dampak iklim, masih belum mendapat akses layanan peringatan iklim dan panas.

Gelombang panas juga turut memperburuk polusi udara, yang telah menjadi penyebab utama kematian keempat dan diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini per tahun.

Kerawanan pangan adalah ancaman lain yang meningkat akibat perubahan iklim, menurut laporan tersebut. Demikian pula penyebaran berbagai penyakit menular yang peka terhadap cuaca, seperti demam berdarah, yang merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor yang paling cepat menyebar secara global. Selain itu, periode penularan malaria juga telah diperpanjang di beberapa wilayah tertentu di dunia.

Terlepas dari risiko-risiko tersebut, aksi iklim di negara-negara berkembang masih mengalami hambatan pendanaan. "Tidak ada investasi yang cukup untuk meningkatkan kemampuan sektor kesehatan, sehingga sektor ini tidak siap untuk melindungi mereka yang paling rentan," kata laporan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement