Senin 11 Dec 2023 22:30 WIB

Studi: Karbon Dioksida Membuat Suhu Bumi Kian Panas

Bumi bisa mengalami pemanasan yang jauh lebih dahsyat dalam jangka panjang.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sejarah iklim Bumi menunjukkan bahwa planet ini jauh lebih sensitif terhadap gas rumah kaca.
Foto: pixabay
Sejarah iklim Bumi menunjukkan bahwa planet ini jauh lebih sensitif terhadap gas rumah kaca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah analisis baru terhadap 66 juta tahun sejarah iklim Bumi menunjukkan bahwa planet ini jauh lebih sensitif terhadap gas rumah kaca daripada yang diperkirakan oleh model iklim modern. Ini berarti, Bumi bisa mengalami pemanasan yang jauh lebih dahsyat dalam jangka panjang.

Faktor kunci yang menentukan dampak emisi terhadap planet ini adalah seberapa besar Bumi menghangat sebagai respons terhadap semua karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer. Sensitivitas ini dipengaruhi oleh berbagai umpan balik yang terkait dengan awan, pencairan lapisan es, dan pengaruh lainnya.

Baca Juga

Salah satu cara untuk mengukur sensitivitas ini adalah dengan melihat bagaimana iklim berubah di masa lalu. Gas yang terperangkap dalam inti es hanya dapat membawa kita kembali ke sekitar 800 ribu tahun yang lalu, jadi untuk mengetahui suhu dan tingkat karbon dioksida atmosfer lebih jauh ke masa lalu, para peneliti menggunakan proksi. Sebagai contoh, kerapatan pori-pori pada daun tanaman dan tingkat isotop pada cangkang fosil organisme laut bervariasi menurut tingkat CO2.

Namun, perbedaan antara proksi yang berbeda telah menghasilkan pandangan yang tidak pasti tentang iklim purba Bumi. Sekarang, sebuah tinjauan ekstensif oleh tim yang terdiri dari lebih dari 80 peneliti telah menciptakan pandangan yang lebih tajam dan lebih akurat tentang tingkat CO2 purba.

"Kami sekarang memiliki gambaran yang lebih jelas tentang tingkat karbon dioksida di masa lalu," kata Barbel Honisch dari Columbia University di New York yang mengkoordinasikan proyek ini, seperti dilansir Newscientist, Senin (11/12/2023).

Hal ini memungkinkan untuk menempatkan tingkat karbon dioksida di atmosfer saat ini ke dalam konteks di masa lalu. Itu kemudian menunjukkan bahwa terakhir kali tingkat CO2 secara konsisten setinggi saat ini adalah sekitar 14 juta tahun yang lalu, jauh lebih lama dari perkiraan sebelumnya.

Dengan membandingkan data CO2 yang baru dengan catatan suhu, lanjut Honish, dapat diketahui seberapa sensitif iklim terhadap perubahan karbon dioksida. Model iklim saat ini memperkirakan bahwa peningkatan dua kali lipat kadar CO2 di atmosfer akan menyebabkan pemanasan antara 1,5 derajat Celsius dan 4,5 derajat Celcius. Namun, hasil penelitian menunjukkan kenaikan suhu yang jauh lebih besar, yaitu antara 5 derajat Celsius dan 8 derajat Celsius.

Lebih lanjut, ada satu peringatan besar. Wawasan baru tentang sejarah iklim Bumi yang mendalam ini mencakup tren selama ratusan ribu tahun, bukan rentang waktu yang lebih pendek dalam beberapa dekade atau abad yang berkaitan dengan manusia saat ini, sehingga tidak memberi tahu kita berapa suhu global yang mungkin terjadi pada tahun 2100.

"Ada efek yang lamban dan mengalir yang perlahan-lahan terjadi," kata Hoenisch.

 

Lantas bagaimana cara untuk mengetahui kapan kita akan melewati kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius?

Rentang waktu yang sangat luas yang tercakup dalam penelitian ini juga berarti bahwa penelitian ini tidak dapat mendeteksi detail sensitivitas iklim yang lebih halus. Michael Mann dari University of Pennsylvania mengatakan bahwa sensitivitas iklim mungkin berbeda pada masa-masa lain dalam sejarah Bumi dibandingkan dengan sekarang, dan hal ini mungkin menjelaskan mengapa penelitian ini menghasilkan estimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan estimasi yang didasarkan pada periode yang lebih baru.

"Singkatnya, estimasi sensitivitas iklim dari penelitian ini mungkin tidak berlaku untuk pemanasan yang disebabkan oleh manusia saat ini. Meskipun demikian, penelitian ini menegaskan hubungan yang sangat erat antara CO2 dan suhu global, menggarisbawahi ancaman pembakaran bahan bakar fosil yang terus berlanjut,” kata Mann.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement