Kamis 03 Jul 2025 17:07 WIB

Kilang Pertamina Internasional Terapkan Dua Strategi Transisi Energi

KPI juga berencana mengembangkan kilang hijau.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Satria K Yudha
Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional Taufik Aditiyawarman.
Foto: KPI
Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional Taufik Aditiyawarman.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menyiapkan sejumlah strategi dalam menjalankan transisi energi, terutama di tengah tuntutan global untuk mengurangi emisi karbon. Direktur Utama KPI Taufik Aditiyawarman menyampaikan hal itu dalam sesi diskusi di Joint Convention Semarang 2025 (JCS 2025), Selasa (1/7/2025),

Taufik menjelaskan bahwa kebijakan energi ke depan tidak bisa dilepaskan dari prinsip Energi Trilemma, yakni keamanan pasokan, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan lingkungan. Ketiganya dinilai menjadi dasar dalam merancang sistem energi nasional, termasuk upaya menuju energi rendah karbon.

Baca Juga

“Setiap negara punya kepentingan menjamin pasokan energi yang terjangkau, tapi di saat yang sama juga dituntut untuk memulai transisi ke energi rendah karbon,” ujar Taufik.

Ia mengatakan, KPI mendukung arah kebijakan tersebut melalui strategi ganda atau Dual Growth Strategy. Pertama, memaksimalkan operasional kilang yang sudah ada (legacy business). Kedua, mengembangkan bisnis rendah karbon dengan membangun kilang hijau (green refinery) dan produksi bahan bakar nabati atau biofuel.

Dalam pengembangan biofuel, KPI mengandalkan dua pendekatan. Pertama, co-processing, yaitu mencampur bahan baku nabati dengan fosil di fasilitas eksisting. Melalui metode ini, KPI telah memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) 2,4 persen berbasis minyak inti sawit.

Kedua, metode conversion, yakni mengolah 100 persen bahan baku nabati menjadi bahan bakar jenis hydrotreated vegetable oil (HVO), atau dikenal dengan Pertamina Renewable Diesel (RD).

Tahap berikutnya, KPI berencana mengembangkan kilang hijau yang memanfaatkan limbah nabati seperti minyak jelantah. Fasilitas awal direncanakan beroperasi di Kilang Cilacap, sebelum diperluas ke kilang lain.

Menurut Taufik, co-processing dipilih karena dinilai paling cepat dan efisien untuk memproduksi SAF dalam jangka pendek. Proses ini menggunakan infrastruktur eksisting, sehingga meminimalkan kebutuhan investasi baru.

“Ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi fasilitas yang ada sambil menyiapkan kapasitas produksi yang lebih besar,” ujarnya.

Meski begitu, ia mengakui pengembangan ekosistem SAF membutuhkan keterlibatan lintas sektor. “Dibutuhkan dukungan regulasi dan peran pemangku kepentingan lainnya. KPI hanya menjalankan fungsi produksi sesuai peta jalan yang sudah disusun,” kata Taufik.

Ia menambahkan, transformasi ini tidak hanya mendukung transisi energi nasional, tetapi juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah, dan mendorong industri strategis berbasis sumber daya domestik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement