Jumat 15 Dec 2023 12:00 WIB

Perubahan Iklim Sebabkan Tanaman dan Serangga Hidup tidak Sinkron

Lebih dari setengah spesies serangga berjuang mengimbangi penyerbukan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sebuah studi baru menemukan bahwa waktu musiman tanaman maju rata-rata empat kali lebih cepat daripada serangga, membuat interaksi kunci seperti penyerbukan tidak sinkron.
Foto: Pixabay
Sebuah studi baru menemukan bahwa waktu musiman tanaman maju rata-rata empat kali lebih cepat daripada serangga, membuat interaksi kunci seperti penyerbukan tidak sinkron.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru menemukan bahwa waktu musiman tanaman maju rata-rata empat kali lebih cepat daripada serangga, membuat interaksi kunci seperti penyerbukan tidak sinkron. Studi yang dilakukan oleh para peneliti di University of Oxford dan Chinese Academy of Sciences ini dipresentasikan pada British Ecological Society Annual Meeting yang diadakan di Belfast pada tanggal 12-15 Desember.

Sebuah studi terhadap lebih dari 1.500 spesies serangga herbivora di Eropa, yang mencakup data selama 34 tahun, menemukan bahwa 60 persen serangga telah berjuang untuk mengimbangi tanaman yang mereka andalkan karena perubahan iklim memajukan waktu musiman utama (fenologi), seperti mekarnya tanaman atau kemunculan serangga, lebih awal di awal tahun, dengan kecepatan yang berbeda.

Baca Juga

Seiring dengan meningkatnya perubahan iklim, tanaman ditemukan menyesuaikan waktu musiman mereka empat kali lebih cepat daripada serangga dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan.

Kupu-kupu dan ngengat adalah kelompok serangga yang paling sensitif terhadap ketidaksesuaian waktu musiman ini. Sebagai contoh, serangga Dark Green Fritillary sedang berjuang untuk mengimbangi fenologi tanaman yang terus berkembang yang diandalkan oleh tahap ulat, seperti dog-violet dan marsh violet.

Serangga lain yang mengalami ketidaksinkronan yang signifikan dengan tanaman yang mereka andalkan adalah silver-ground carpet, lebah berwajah kuning, dan kumbang lebah Eurasia. Secara umum, para peneliti menemukan bahwa fenologi serangga yang bertelur satu kali setiap tahun lebih terpengaruh daripada serangga yang bertelur banyak.

Sinkronisasi antara aktivitas biologis utama, seperti waktu pertumbuhan dan reproduksi, pada tanaman dan serangga sangat penting untuk menjaga keseimbangan, ekosistem yang sehat, dan produksi pangan.

“Ketidaksesuaian antara fenologi tanaman dan serangga yang kami amati dalam penelitian ini menimbulkan ancaman yang signifikan bagi ekosistem dan mata pencaharian kita. Kita dapat segera melihat kepunahan spesies yang saling bergantung satu sama lain dan bahkan runtuhnya jaringan jaring-jaring makanan,” kata Yanru Huang, seorang mahasiswa PhD di University of Chinese Academy of Sciences dan University of Oxford, yang akan mempresentasikan penelitian ini pada BES Annual Meeting.

Roberto Salguero-Gomez, Profesor Ekologi di Departemen Biologi Universitas Oxford dan penulis senior penelitian ini, mengatakan bahwa ketidaksesuaian waktu musim tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati, tetapi juga pada manusia. Mengingat 84 persen tanaman di Eropa secara langsung bergantung pada serangga untuk penyerbukan, jelas terlihat betapa kita sangat bergantung pada jasa ekosistem yang disediakan oleh serangga.

“Jika Anda memikirkan apa yang Anda makan untuk sarapan pagi ini, semuanya berasal dari alam dan sebagian besar dari serangga. Jika Anda makan buah beri, almond, teh atau kopi, itu tidak akan terjadi tanpa jasa serangga. Jadi tentu ada dampaknya bagi manusia,” kata Salguero-Gomez seperti dilansir Phys, Jumat (15/12/2023).

Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan data dari basis data Global Biodiversity Information Facility. Mereka meneliti bagaimana perubahan iklim mempengaruhi spesies di Eropa karena wilayah ini dipantau dengan baik oleh para ahli ekologi dan masyarakat umum, sehingga memungkinkan untuk melakukan penelitian pada skala spasial dan temporal yang besar. Mereka termasuk empat kelompok serangga yang paling banyak dipelajari yaitu Hemiptera (serangga sejati), Hymenoptera (misalnya lebah, semut), Coleoptera (misalnya kumbang), dan Lepidoptera (misalnya kupu-kupu dan ngengat).

Yanru Huang berharap penelitian ini semakin meningkatkan kesadaran tentang bagaimana perubahan iklim mengganggu kestabilan sistem alam. Beberapa tahun terakhir ini, keanekaragaman serangga di Eropa menurun drastis, seiring dengan meningkatnya dampak perubahan iklim terhadap lingkungan kita.

“Kami ingin penelitian kami dapat mempromosikan strategi untuk menghadapi tantangan-tantangan ini,” kata Huang.

Yanru Huang akan mempresentasikan hasil penelitiannya pada pertemuan tahunan British Ecological Society. Penelitian ini saat ini belum dipublikasikan. Konferensi ini akan mempertemukan lebih dari 1.300 ahli ekologi untuk mendiskusikan terobosan terbaru dalam bidang ekologi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement