Kamis 29 Feb 2024 11:54 WIB

Dubai, London, dan Tokyo, Kota Paling Parah Terpapar Polusi Penerbangan

Ketiga kota ini menajdi kota terparah terkena dampak polusi udara.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pria memegang ponsel mereka saat mereka berdiri di gerbang kedatangan untuk penerbangan internasional di Bandara Internasional Narita, Tokyo.
Foto: AP/Hiro Komae
Pria memegang ponsel mereka saat mereka berdiri di gerbang kedatangan untuk penerbangan internasional di Bandara Internasional Narita, Tokyo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesawat yang lepas landas dan mendarat di enam bandara di London, membuat penduduk kota terpapar emisi nitrogen oksida dan partikulat yang berbahaya setara dengan 3,23 juta mobil setiap tahunnya. Di Tokyo dan Dubai, penduduknya terpapar emisi yang setara dengan 2,78 juta mobil dari lalu lintas udara.

Ketiga kota ini merupakan kota yang paling parah terkena dampak polusi udara dari penerbangan di dunia, menurut penelitian baru yang melacak polusi udara dan emisi gas rumah kaca dari penerbangan kargo dan penumpang dari bandara-bandara di seluruh dunia.

Baca Juga

Penelitian ini menemukan bahwa 20 bandara terbesar jika digabungkan, menghasilkan emisi karbon sebanyak 58 pembangkit listrik tenaga batu bara.

"Polusi di sekitar bandara terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini mempengaruhi jutaan orang, yang menghirup emisi beracun dan mengalami gangguan kesehatan sebagai akibatnya, namun para pembuat kebijakan mengabaikan masalah ini,” kata Jo Dardenne, direktur penerbangan di Transport & Environment, lembaga thinktank yang membantu menghasilkan penelitian ini.

Dardenne menegaskan bahwa pertumbuhan eksponensial sektor penerbangan dan bandara tidak sesuai dengan tujuan iklim negara, terutama mengingat lambatnya penyerapan teknologi bersih.

“Setelah pandemi, tentu saja sektor ini telah bangkit kembali. Tetapi tanpa tindakan yang berarti, dampak iklim dan kesehatan dari sektor ini tidak akan menjadi lebih baik,” kata Dardenne seperti dilansir The Guardian, Kamis (29/2/2024).

Airport Tracker 2024, yang diproduksi oleh lembaga thinktank global ODI dalam kemitraan dengan T&E, memperbarui penelitian yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2021. Untuk pertama kalinya, penelitian ini mencakup dampak karbon dari angkutan udara serta penerbangan penumpang, yang mencakup emisi nitrogen oksida (NOx) dan materi partikulat halus (PM2.5) dari 1.300 bandara.

Bandara yang paling berpolusi di dunia secara keseluruhan, menurut laporan tersebut, adalah Dubai, di Uni Emirat Arab. Bandara ini menyumbang 20,1 juta ton emisi CO2 dalam satu tahun, kira-kira setara dengan emisi gas rumah kaca dari lima pembangkit listrik tenaga batu bara, serta 7.531 ton NOx dan 71 ton PM2.5.

Bandara Heathrow di London adalah yang terburuk kedua dalam hal dampak iklim, memuntahkan 19,1 juta ton CO2 per tahun, dan untuk emisi NOx-nya sebesar 5.844 ton, meskipun 37 ton polusi PM2.5 per tahun membuatnya berada di urutan ke-16 dalam daftar tersebut.

Dari sana, gambarannya menjadi lebih rumit, dengan dampak iklim bandara dan emisi polutan berbahaya lainnya yang tidak terkait dengan jelas. Para aktivis mengatakan bahwa tidak ada perlindungan yang cukup terhadap jenis polusi yang disebabkan oleh bandara.

"Tingkat kebisingan pesawat terus menerus terlampaui, dan kita sama sekali tidak memenuhi standar Uni Eropa untuk partikel ultra halus, yang merupakan bahaya kesehatan utama," kata Magdalena Heuwieser, dari jaringan aktivis Stay Grounded.

Menurut dia, ada beberapa langkah penting yang harus segera diambil untuk melindungi kesehatan para pekerja dan masyarakat di sekitar bandara - seperti larangan penerbangan malam hari, atau perbaikan bahan bakar jet yang sederhana agar memiliki standar yang sama dengan bahan bakar mobil.

“Namun teknologi tidak akan menyelesaikan seluruh masalah: pengurangan jumlah penerbangan adalah yang paling efektif dan dibutuhkan,” kata Heuwieser menegaskan.

Sam Pickard, seorang rekan peneliti di ODI, mengatakan bahwa bandara merupakan infrastruktur jangka panjang, sehingga pilihan yang dibuat sekarang akan mempengaruhi iklim dan kualitas udara jauh di masa depan. “Masih banyak yang harus dilakukan untuk mengenali dampak-dampak ini dan membatasi ekspansi di berbagai belahan dunia,” kata Pickard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement