Rabu 24 Apr 2024 16:30 WIB

Petani Kentang di Inggris Alami Gagal Panen Akibat Cuaca Ekstrem

Cuaca ekstrem yang terjadi lebih intens di Eropa.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Cuaca ekstrem yang terjadi lebih intens di Eropa disinyalir terkait dengan gagal panen kentang.
Foto: www.freepik.com
Cuaca ekstrem yang terjadi lebih intens di Eropa disinyalir terkait dengan gagal panen kentang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petani asal Inggris, Andrew Branton, harus tabah mendapati seluruh kentang yang ditanamnya pada tahun 2023 menjadi busuk. Cuaca ekstrem yang terjadi lebih intens di Eropa disinyalir terkait dengan gagal panen tersebut.

Dari akhir September hingga Januari, hujan deras turun di lahan pertanian Branton di Lincolnshire. Banyak ladangnya yang terendam selama berpekan-pekan, membuat tanaman kentangnya tidak dapat dipanen.

Baca Juga

Saat ini air mulai surut, tetapi selama berpekan-pekan, beban air yang sangat berat di ladangnya (sekitar 2400 ton per hektar) membuat tanah terlalu basah untuk ditanami tanaman musim semi.

"Meskipun secara fisik memungkinkan, namun secara ekonomi tidak memungkinkan," kata Branton seperti dilansir Sky News, Rabu (24/4/2024).

Dia tidak sendirian. Menurut analisis iklim Eropa yang paling komprehensif pada 2023, tahun tersebut merupakan tahun terbasah keempat yang pernah tercatat di seluruh benua, dengan Desember sebagai bulan terbasah yang pernah terjadi di tempat-tempat seperti Inggris.

Cuaca ekstrem menyebabkan kerugian setidaknya 13 miliar euro dan berdampak pada 1,6 juta orang, menurut laporan tersebut.

"Tahun 2023 benar-benar merupakan tahun yang luar biasa," kata wakil Dr Samantha Burgess, direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa, yang telah membuat laporan bersama dengan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

"Eropa adalah benua yang paling cepat mengalami pemanasan, dengan suhu meningkat sekitar dua kali lipat dari rata-rata, dan dengan tiga tahun terpanas yang tercatat terjadi sejak tahun 2020," kata Burgess.

Serangkaian badai sepanjang tahun menyebabkan banjir di seluruh Eropa tengah dan Selatan, dengan Slovenia mengalami bencana yang dianggap sebagai bencana termahal dalam sejarahnya. Banjir berdampak pada 1,5 juta orang.

Suhu rata-rata lautan di Atlantik Utara, yang merupakan pendorong utama sistem cuaca Eropa, merupakan yang tertinggi dalam catatan dan satu derajat atau lebih tinggi dari rata-rata untuk sebagian besar tahun 2023.

Gletser di Eropa juga mengalami tingkat pencairan yang luar biasa dan selama tahun 2022 dan 2023, gletser-gletser tersebut kehilangan 10 persen dari es yang tersisa. Ini adalah sebuah ironi dari pemanasan iklim di benua seperti Eropa, yang dikelilingi oleh lautan, di mana pemanasan iklim dapat membawa gelombang panas yang ekstrim dan curah hujan yang ekstrim.

"Kita tahu bahwa dalam iklim yang lebih hangat kita akan mendapatkan lebih banyak gelombang panas dan gelombang panas tersebut akan lebih intens. Kita juga tahu bahwa dalam iklim yang lebih hangat, atmosfer dapat menahan lebih banyak uap air, yang berarti badai akan menjadi lebih kuat,” kata Burgess.

Petani seperti Andrew Branton tidak membutuhkan ilmuwan iklim untuk meyakinkan mereka tentang hal itu. Menurut Branton, petani sepertinya dapat terus memproduksi pangan dalam kondisi ekstrem seperti itu. 

Namun demikian, dari sisi ekonomi produksi pangan, harga yang rendah menjadi disinsentif bagi petani untuk menghasilkan surplus, yang berarti guncangan iklim dapat menghancurkan mereka secara finansial - dan juga berdampak pada harga konsumen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement