REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi antar-pemerintah International Energy Agency (IEA) mengeluarkan laporan yang menyatakan investasi global pada teknologi energi bersih mencapai 2 triliun dolar AS tahun ini. Jumlah itu mencapai dua kali lipat dari investasi bahan bakar fosil.
Dalam laporan tahunan World Energy Investment, IEA memperkirakan total investasi energi pada tahun ini untuk pertama kalinya akan menembus angka tiga triliun dolar AS pada tahun 2024. Sekitar dua triliun dolar AS akan ditujukan pada teknologi energi bersih, termasuk energi terbarukan, mobil listrik, pembangkit listrik tenaga nuklir, jaringan listrik, gudang, bahan bakar rendah emisi, peningkatan efisiensi dan pompa panas. Sementara sisanya baru ditujukan pada minyak, gas, dan bat ubara.
Pada tahun 2023, untuk pertama kalinya investasi gabungan pembangkit listrik dan jaringan listrik energi terbarukan lebih banyak dibandingkan bahan bakar fosil. "(Perbandingannya) Satu dolar untuk ke bahan bakar fosil, hampir dua dolar diinvestasikan pada energi bersih," kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, Kamis (6/6/2024).
“Peningkatan belanja energi ramah lingkungan didukung oleh perekonomian yang kuat, pengurangan biaya yang berkelanjutan, dan pertimbangan keamanan energi,” tambahnya.
Pada 2024, Cina menjadi negara yang paling banyak berinvestasi pada energi bersih dengan estimasi sekitar 675 miliar dolar AS. Sementara Eropa sekitar 370 miliar dolar AS dan Amerika Serikat 315 dolar AS.
Sebagian besar investasi dihabiskan untuk solar photovoltaic (PV) atau panel surya dibandingkan teknologi pembangkit listrik lainnya. Investasi pada PV pada tahun 2024 mencapai 500 miliar dolar AS karena jatuhnya harga panel surya.
Dalam laporannya, IEA mengatakan aliran investasi pada gas dan minyak diperkirakan naik 7 persen pada tahun 2024 menjadi 570 miliar dolar AS, sama dengan laju pertumbuhan pada tahun lalu. Sebagian besar dipimpin perusahaan-perusahaan negara di Timur Tengah dan Asia.
Kendati demikian, IEA mengatakan investasi energi bersih di beberapa negara, seperti negara berkembang selain Cina, masih rendah.