Senin 15 Jul 2024 16:02 WIB

BRIN Soroti Dampak Negatif Industri Ekstraktif bagi Masyarakat Pulau

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah privatisasi atas wilayah pesisir

Sejumlah anak bermain air di perairan pesisir Kampung Nelayan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (28/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Sejumlah anak bermain air di perairan pesisir Kampung Nelayan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (28/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti dampak negatif dari industri ekstraktif seperti pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran bagi masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia. Para pemangku kepentingan diharapkan dapat meninjau lagi peraturan yang ada demi menyelematkan wilayah pesisir.

"Eksistensi pulau-pulau kecil sudah ada yang mulai lenyap, bahkan tenggelam. Ini menunjukkan terjadinya kerentanan di pesisir yang sifatnya tidak hanya ekologis, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. Hal itu tidak hanya karena perubahan iklim, tetapi juga aktivitas industri ekstraktif," kata Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami di Jakarta, Senin (15/7/2024).

Baca Juga

Athiqah menyebut beberapa tahun terakhir pihaknya mencermati bagaimana kebijakan hilirisasi dan masifnya kegiatan pertambangan dan perluasan industri ekstraktif. Ia menilai kegiatan industrialisasi, seperti proyek hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, juga pertambangan biji besi dan tambang emas di Sulawesi Utara berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem di pesisir laut dan pulau-pulau kecil.

"Dampak lingkungannya jelas, bahwa terjadi pencemaran logam berat, misalnya di sungai-sungai di sekitar pabrik di wilayah tersebut. Khususnya di pertambangan nikel yang tidak hanya pencemaran air, tapi juga pencemaran udara, hancurnya hutan, serta penggusuran kebutuhan petani akibat ekspansi tambang nikel," ujarnya.

Athiqah juga mengungkapkan dampak lain yang tidak kalah penting adalah privatisasi atas wilayah pesisir. Berdasarkan data dari sejumlah organisasi nirlaba, kata dia, tercatat lebih dari 200 pulau yang sudah diprivatisasi dan diperjualbelikan di seluruh Indonesia, dengan catatan paling banyak di DKI Jakarta dan Maluku Utara hingga 2023 lalu.

Menurutnya, aktivitas industri ekstraktif tersebut berdampak kepada masyarakat setempat. Ruang hidup masyarakat seolah terampas, yang ditandai dengan semakin terbatasnya akses masyarakat untuk melaut.

Untuk itu, Athiqah menekankan kepada pemangku kepentingan terkait untuk kembali merefleksi berbagai peraturan yang ada, seperti regulasi terkait pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, sebelum memutuskan sebuah tindakan, seperti yang belum lama ini terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

"Pada regulasi tersebut pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia mestinya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam, serta sistem ekologi secara berkelanjutan," ucap Athiqah.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement