Kamis 25 Jul 2024 10:38 WIB

Investasi Energi Terbarukan di Indonesia Terbentur Prosedur

Investor akan tertarik mengembangkan EBT jika ada prosedur yang jelas dan ringkas.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Pekerja menyelesaikan pembangunan PLTS untuk IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (15/2/2024).IEEFA menilai investasi EBT di Indonesia terbentur prosedur dan regulasi.
Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Pekerja menyelesaikan pembangunan PLTS untuk IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (15/2/2024).IEEFA menilai investasi EBT di Indonesia terbentur prosedur dan regulasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Lembaga think-tank Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyarankan Indonesia untuk mengevaluasi kembali proses perencanaan, pengadaan, dan investasi untuk mengamankan kebutuhan pembiayaan energi terbarukan. Regulasi hingga prosedur yang ada saat ini dinilai menjadi hambatan bagi investor swasta untuk menanamkan modal.

IEEFA menyatakan Pemerintah Indonesia memang menerbitkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kepercayaan dan menggaet investasi di sektor energi terbarukan hingga 146 miliar dolar AS. Namun, langkah reformasi tersebut belum membuahkan hasil.

Baca Juga

Menurut IEEFA, hal ini karena kebijakan yang dibuat dinilai tidak menguntungkan investor dan implementasinya kurang baik. Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru IEEFA Unlocking Indonesia's Renewable Energy Investment Potential.

IEEFA menilai pemerintah saat ini membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta untuk mencapai target iklim 2030. Namun menurut laporan IEEFA, persyaratan kontrak yang sangat menuntut untuk energi surya dan angin membuat biaya meningkat dan investor swasta enggan menanamkan modal.

“Investor swasta akan tertarik masuk ke pasar energi terbarukan Indonesia jika ada prosedur pengadaan yang jelas dan ringkas, sekaligus pelaksanaan regulasi yang konsisten dan dapat dipercaya,” kata penulis dan Analis Keuangan Energi IEEFA  Mutya Yustika, Rabu (24/7/2024).

IEEFA merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk menetapkan prosedur pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan jelas, yang didukung syarat dan ketentuan yang seimbang secara komersial. Langkah ini akan memberikan kepastian bagi investor swasta potensial dan memastikan Indonesia mampu mencapai target dekarbonisasi.

Perbaikan ini diperlukan lantaran investasi energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan dalam tujuh tahun terakhir, meski memiliki sumber daya yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Pada 2023, Indonesia membukukan investasi 1,5 miliar dolar AS yang setara tambahan kapasitas energi terbarukan 574 megawatt (MW).

Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang telah memiliki kapasitas energi surya dan angin cukup besar. Sebagai contoh, Vietnam telah memiliki kapasitas energi surya hingga 13.035 MW dan angin 6.466 MW.

Laporan IEEFA mengidentifikasi sejumlah hambatan yang menurunkan minat investor membiayai proyek energi terbarukan di Indonesia. Salah satu hambatan itu adalah bahwa sejak 2017 Pemerintah Indonesia melarang pengalihan kepemilikan saham proyek energi terbarukan sebelum proyek beroperasi secara komersial (commercial on date/COD). Kebijakan ini membatasi kemampuan investor swasta untuk memperoleh tambahan modal dan keahlian teknis selama proses pembangunan proyek.

Hambatan lainnya adalah penerapan skema tarif batas atas. Meski banyak desakan untuk penerapan feed in tariff, pemerintah justru menetapkan skema tarif batas atas (ceiling tariff) untuk energi terbarukan. Dampaknya, proses lelang akan memilih produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) yang menawarkan tarif terendah, sehingga sulit bagi investor untuk mencapai target laba. Hal ini membuat lelang proyek baru menjadi tidak menarik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement