REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- World Economic Forum dalam laporannya bertajuk "Fostering Effective Energy Transition" Juni lalu, mencatat Indeks Transisi Energi (ITE) beberapa negara seperti Cina, Brasil, dan India meningkat pesat. WEF mengatakan ITE 107 dari 120 negara dalam satu dekade terakhir mengalami kemajuan.
"Skor (ITE) 30 negara mengalami peningkatan 10 persen lebih," kata WEF dalam laporan tersebut.
WEF mengatakan Cina dan Brasil mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu faktor pendorongnya meningkatnya kapasitas energi terbarukan dan pangsa energi bersih.
Cina dan Brasil banyak mengandalkan pembangkit listrik tenaga hidro untuk konsumsi energinya dan berkomitmen meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Langkah-langkah yang diambil dua negara ini beberapa tahun terakhir menciptakan lingkungan yang membuat transisi energi memungkinkan.
Komitmen jangka-panjang Brasil pada pembangkit listrik tenaga hidro dan biofuel yang dikombinasikan dengan langkah-langkah terbaru di energi surya membuka jalan bagi negara itu sebagai garda depan dalam transisi energi.
"Brasil fokus pada instrumen perencanaan dan kebijakan, serta penguatan institusi, telah membangun ekosistem yang tepat bagi momentum transisi energi," kata WEF dalam laporan tersebut.
Sementara itu, India juga membuat sejumlah kemajuan dalam infrastruktur energi bersih. Energi terbarukan dan biomassa mencakup 42 persen dari kapasitas pembangkit listriknya, membawa negara itu sebagai pasar energi terbarukan terbesar keempat di dunia.
WEF mengatakan dengan investasi tahunan yang mencapai 10 miliar dolar AS, adopsi kendaraan listrik dan produksi energi hidrogen India meningkat pesat. Namun ketergantungan India dan Cina pada batu bara masih menjadi pendorong utama intensitas emisi di dua negara itu.
Tahun lalu hanya 17 persen negara termasuk Prancis, Cina, Polandia, Belgia dan India yang menunjukkan peningkatan dalam hal keadilan, ketahanan, dan keberlanjutan energi. Hal ini menunjukkan sulitnya membangun transisi yang seimbang.
Pada tahun 2024, sebanyak 28 persen negara termasuk Kuwait, Nigeria, Bangladesh, Mozambik, dan Tanzania aktif melakukan transisi menuju sistem energi yang lebih seimbang. Evolusi ini ditandai dengan kemajuan yang signifikan dalam sub-indeks dengan nilai terendah di antara keadilan, ketahanan dan keberlanjutan energi.
Kemajuan tersebut mengindikasikan adanya pergeseran strategis menuju lanskap energi yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan di negara-negara tersebut. Sementara itu Indeks Transisi Energi Jerman, Jepang dan Amerika Serikat (AS) mengalam perlambatan beberapa tahun terakhir.
WEF mencatat beberapa tahun terakhir Jerman meningkatkan produksi bahan bakar batu bara sebanyak 35 persen pada tahun 2022 dibanding 2020 untuk mengurangi ketergantung pada gas Rusia. Hal ini meningkatkan intensitas emisi negara tersebut.
Pada April 2023, Jerman juga membuang rencana pembangkit listrik tenaga nuklir untuk digantikan dengan pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Sementara adopsi energi surya dan angin meningkat, kesenjangan antara produksi dan konsumsi ditutupi dengan batu bara.
"Jepang mengalami dampak signifikan dari fluktuasi harga gas, yang menyebabkan penurunan skor ekuitasnya karena tantangan menyediakan energi terjangkau," kata WEF.
Keberhasilan awal energi bersih hidrogen menunjukkan tanda-tanda menjanjikan. Selama tiga tahun terakhir skor ITE AS mengalami pertumbuhan. Undang-undang Reduksi Inflasi (IRA) memainkan peran besar menyediakan lingkungan ekonomi bagi energi terbarukan dan adopsi kendaraan listrik.
Namun kecepatan transisi beberapa tahun terakhir mengalami penurunan karena hambatan dalam mengkoneksikan proyek-proyek energi bersih ke jaringan listrik tertuama proyek-proyek besar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terkoneksi.
WEF mengatakan pendatang baru 20 besar peringkat ITE adalah Latvia dan Chile. Latvia meningkatkan performa keberlanjutannya dengan meningkatkan kontribusi energi terbaru hingga tiga perempat di pembangkit listriknya, sebagian besar dengan energi hidro dan biofuel.
Latvia juga melakukan sejumlah kemajuan dalam ketahanan energi dengan mendiversifikasi mitra impor. Di sisi lain, Chile meningkatkan skor ITE-nya tahun ini dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Sehingga meningkatkan performa keberlanjutan dan pengurangan impor energi.
WEF mengatakan walaupun sudah ada kemajuan, tapi rintangan untuk menyeimbangkan antara keadilan, ketahanan dan keberlanjutan masih besar. Hanya 20 negara yang meningkatkan tiga hal itu dalam beberapa tahun terakhir.
Semakin rumitnya lanskap makroekonomi dan meningkatnya ketegangan geopolitik menimbulkan tantangan baru. Hal ini menunjukkan perlunya menyesuaikan jalur menuju transisi energi untuk mengatasi dinamika secara efektif. "Saat ini skor ETI menilai sistem energi suatu negara tanpa memperhitungkan laju transisinya," kata WEF.
WEF mengatakan konsep momentum transisi menyoroti negara-negara yang bertransisi dengan cepat dan negara-negara yang menghadapi risiko. Meskipun tidak ada persentase yang ditetapkan secara global untuk mengukur kemajuan transisi energi, kecepatannya bergantung pada berbagai faktor, termasuk keadaan negara dan wilayah tertentu, ketersediaan sumber daya dan teknologi, tingkat komitmen politik dan publik.