REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Energy Business Director Australasia Wartsila Energy, Kari Punnonen, menegaskan pentingnya teknologi pembangkit listrik fleksibel dalam mendukung dekarbonisasi sektor energi. Punnonen menyebut Wartsila berkomitmen pada masa depan bebas karbon 100 persen, sejalan dengan visi global dekarbonisasi.
“Pembangkit listrik fleksibel adalah kunci transformasi energi, memungkinkan integrasi energi terbarukan yang lebih luas dalam sistem kelistrikan,” kata Punnonen di media briefing Wartsil di Electricity iConnect 2024, Rabu (20/11/2024).
Ia menambahkan, fleksibilitas ini menjadi solusi untuk mengatasi tantangan intermitensi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin yang bersifat tidak stabil. Menurut Punnonen, Wartsila menawarkan dua solusi utama untuk mendukung sistem kelistrikan modern: penyimpanan energi berbasis baterai dan pembangkit listrik fleksibel berbasis mesin.
Teknologi ini dirancang untuk memberikan keseimbangan daya dengan respons cepat terhadap perubahan kebutuhan listrik, memastikan sistem tetap stabil meski menghadapi variasi pasokan energi terbarukan.
“Mesin kami seperti mesin mobil. Anda bisa menyalakannya dengan cepat, menggunakannya kapan saja, dan mematikan saat tidak diperlukan. Selain itu, mesin ini memiliki efisiensi tertinggi dibandingkan teknologi lain, seperti turbin atau pembangkit listrik tenaga batu bara,” ujar Punnonen.
Keunggulan lain dari teknologi ini adalah kompatibilitasnya dengan bahan bakar masa depan. Mesin Wartsila mampu menggunakan hidrogen, amonia, metanol, dan bahan bakar terbarukan lainnya, memberikan fleksibilitas jangka panjang bagi pemiliknya. Hal ini memastikan investasi tetap relevan meski teknologi bahan bakar terus berkembang.
Dalam paparannya, Punnonen memaparkan kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, memiliki tantangan besar untuk mencapai target nol emisi yang ditetapkan. Indonesia, yang menargetkan nol emisi pada 2060.
Sementara untuk mencapai nol emisi Asia Tenggara perlu membangun pembangkit listrik baru dengan kapasitas 25 gigawatt per tahun untuk memenuhi ambisi tersebut. Namun, realisasi saat ini masih berkisar 2-6 gigawatt per tahun.
“Target ini sangat ambisius. Namun, dengan adopsi teknologi yang tepat, Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin transformasi energi di kawasan ASEAN,” kata Punnonen.
Ia menyoroti pentingnya langkah awal, yakni meningkatkan kapasitas energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tantangan intermitensi akan muncul seiring peningkatan kapasitas ini.
Selama lebih dari 40 tahun, Wartsila telah memasok lebih dari 5 gigawatt pembangkit listrik berbasis mesin di Indonesia. Teknologi ini sebelumnya digunakan untuk aplikasi beban dasar dan puncak, tetapi kini diarahkan untuk mendukung penyeimbangan daya.
“Kami telah berdiskusi dengan PLN bahwa pembangkit listrik yang ada bisa dimanfaatkan untuk tujuan penyeimbangan daya. Ini akan memungkinkan integrasi energi terbarukan yang lebih besar ke dalam sistem,” jelas Punnonen.
Selain itu, Punnonen menekankan pembangkit listrik berbasis mesin Wartsilä mampu menghadapi tantangan variabilitas harian hingga musiman dalam sistem kelistrikan. Dengan teknologi ini, PLN dapat mengatasi perbedaan pasokan energi yang terjadi secara mendadak maupun berkala.
Punnonen juga menggarisbawahi bahwa transformasi energi saat ini didukung oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan. Misalnya, biaya listrik dari tenaga surya yang sebelumnya mencapai 50 sen per kilowatt jam kini turun menjadi lima sen atau bahkan lebih rendah.
“Dengan biaya yang semakin rendah, energi terbarukan kini menjadi opsi paling ekonomis. Inilah momentum yang tepat untuk mempercepat dekarbonisasi sektor energi,” katanya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa transisi energi bukan hanya soal menambah kapasitas energi terbarukan. Negara-negara harus mulai mengurangi ketergantungan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang tidak fleksibel, seperti batu bara, dan menggantinya dengan teknologi yang mendukung sistem penyeimbangan daya.
Punnonen menguraikan langkah-langkah strategis untuk mencapai sistem energi yang netral karbon. Langkah pertama adalah meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Kemudian, mengintegrasikan teknologi penyeimbang daya seperti pembangkit listrik fleksibel dan penyimpanan energi. Langkah berikutnya adalah mengurangi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil secara bertahap.
“Pada tahap akhir, bahan bakar terbarukan akan menggantikan bahan bakar fosil. Ini adalah proses bertahap yang memerlukan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan listrik, dan pelaku industri,” katanya.
Melalui teknologi pembangkit listrik fleksibel dan dukungan solusi energi terbarukan, Wartsila berkomitmen untuk menjadi bagian dari transformasi energi global. Dengan pengalaman panjang di Indonesia, perusahaan ini optimis dapat mendukung target net zero Indonesia dan kawasan ASEAN secara keseluruhan.
“Transformasi energi adalah tantangan besar, tetapi dengan teknologi yang tepat dan kolaborasi semua pihak, kita dapat mencapainya bersama,” kata Punnonen.