REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asia Land Forum (ALF) atau Forum Agraria se-Asia pada 17-21 Februari 2025. Forum ini membahas reforma agraria, konflik agraria, perlindungan pembela hak atas tanah dan lingkungan hidup, dan hak perempuan atas tanah dan aksi iklim.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berharap Indonesia menjadi contoh dalam mendorong percepatan reforma agraria, pembangunan desa, dan koperasi rakyat sebagai jalan mewujudkan kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan.
“Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Forum Agraria se-Asia menandakan bentuk kepercayaan masyarakat di Asia terhadap konsistensi dan pencapaian gerakan masyarakat sipil di Indonesia," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam siaran persnya Sabtu (15/2/2024).
Dewi mengatakan forum ini akan dihadiri 500 lebih peserta dari 14 negara di Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Mereka terdiri atas perwakilan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Forum ini akan digelar pada tanggal 17-21 Februari 2025.
Forum dimulai kunjungan komunitas ke tiga tempat, yakni Kasepuhan Jamrud di Lebak, Banten, komunitas adat yang masih memperjuangkan hak atas tanahnya. Lokasi lainnya adalah desa Gunung Anten, Lebak yang mengalami 32 tahun konflik agraria berhadap-hadapan dengan lahan dengan izin guna swasta yang sudah kadaluarsa.
Terakhir di Desa Sukaslamet, Indramayu, lokasi episentrum konflik agraria yang berkonflik dengan Perum Perhutani di Jawa Barat. Dewi menambahkan, forum ini menjadi momentum penting bagi gerakan reforma agraria menagih komitmen politik pemerintahan baru untuk percepatan redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
"ALF menjadi ruang penting bagi organisasi masyarakat sipil dan komunitas se-Asia untuk membahas kebijakan agraria dan pertanahan, serta menawarkan solusi yang berpusat pada masyarakat," kata Dwi.
Sejak Indonesia merdeka, Indonesia mengalami peningkatan ketimpangan dan konflik agraria yang sangat masif akibat kebijakan yang sangat timpang dan tidak berpihak pada masyarakat luas. Hanya satu persen kelompok menguasai hampir 68 persen tanah dan kekayaan alam di nusantara. Bahkan sejak 2015 hingga 2024, sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7.4 juta hektar dan 1.8 juta keluarga terdampak.
“Situasi ini membutuhkan solusi dan aksi bersama seluruh pemangku kepentingan untuk berdiri bersama menegaskan komitmen untuk percepatan agenda reforma agraria," kata Dewi.
Pemerintah baru Indonesia di bawah Presiden Prabowo menetapkan Reforma Agraria sebagai jalan mewujudkan swasembada pangan melalui: program perbaikan kesejahteraan petani dan peningkatan produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan kelautan. Pemerintah juga menjadikan Reforma Agraria sebagai jalan untuk mewujudkan pemulihan alam, pemerataan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, pembangunan pedesaan dan penguatan badan usaha koperasi.
“Pencapaian tersebut perlu partisipasi rakyat yang kuat dan bermakna sehingga momentum ALF ini menjadi kesempatan untuk melahirkan komitmen bersama antara pemerintah dan gerakan reforma agraria,” kata Dewi.
Tema besar ALF 2025 ini adalah menjamin hak atas tanah untuk masa depan yang adil dan berkelanjutan. Koordinator International Land Coalition di Asia, Anu Verma mengatakan, Asia rumah bagi sekitar 4,8 miliar penduduk, yang merupakan 59,5 persen dari populasi global. Dengan pendapatan ekonomi besar, kaya sumber daya alam, pasar tenaga kerja, modal, dan barang yang substansial, Asia telah menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi global.
“Tapi perburuan mineral di Asia, termasuk Indonesia, telah menyebabkan peningkatan investasi tanah, yang sering kali mengorbankan masyarakat lokal. Investasi ini, yang didorong oleh pasar global yang kompetitif, menghidupkan kembali warisan ekstraksi kolonial yang semakin merugikan masyarakat,” kata Verma.
Tak heran, lanjut Verma, masalah perampasan tanah terus mengancam masyarakat yang rentan. “Perempuan di Asia hanya memiliki 10,7 persen tanah, jauh di bawah rata-rata global, dan satu dari sepuluh perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang memperburuk tantangan para pembela perempuan,” katanya.