REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang 2024, lembaga Burung Indonesia atau organisasi non-pemerintah yang berfokus pada pelestarian burung dan habitatnya di Indonesia mencatat penurunan jumlah spesies burung dibandingkan tahun lalu. Burung kapinis kecil (Apus affinis) dianggap tidak lagi memiliki sebaran alami di Indonesia.
Burung Indonesia selama 2024 mencatat ada 1.835 spesies burung di Indonesia yang tersebar di tujuh wilayah avifauna. Penyerabaran wilayahnya terdiri dari Sumatera (633 spesies; 56 di antaranya spesies endemis), Jawa dan Bali (517 spesies; 80 di antaranya spesies
endemis), Kalimantan (564 spesies; enam di antaranya spesies endemis), Sulawesi (464 spesies; 168 di antaranya spesies endemis), Nusa Tenggara (590 spesies; 108 di antaranya spesies endemis), Maluku (435 spesies; 126 di antaranya spesies endemis), dan Papua (707 spesies; 71 di antaranya spesies endemis). Jumlah spesies burung tahun ini berkurang satu spesies dibandingkan tahun lalu, sebanyak 1.836.
Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2024 tidak ditemukan penambahan spesies baru, baik melalui observasi lapangan maupun publikasi ilmiah terkini. Penamaan dan pengelompokan ulang dalam taksonomi burung pun mengalami sedikit perubahan.
Sebelumnya, kapinis kecil sering dianggap sejenis dengan kapinis rumah (Apus nipalensis). Hasil penelitian oleh Päckert et al., (2012) menunjukkan keduanya merupakan spesies berbeda berdasarkan perbedaan morfologi, perilaku, serta analisis genetik.
Dari 1.835 spesies, sekitar 85 persen (1.559 spesies) merupakan burung residen, sisanya 15 persen (276 spesies) merupakan burung migran yang mengunjungi Indonesia seiring dengan penyempurnaan dalam penentuan sebaran geografis dan taksonominya. Sebagian besar mereka bermigrasi di salah satu jalur migrasi burung terpenting di dunia, yaitu Jalur Terbang Asia Timur-Australasia atau East Asian-Australasian Flyway.
Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia Ria Saryanthi mengatakan, perubahan lain yang terlihat selama 2024 adalah status keterancaman burung yang mengacu pada data evaluasi Daftar Merah IUCN oleh BirdLife International. Dari 30 spesies burung, 18 spesies
mengalami penurunan status (kondisi membaik), sedangkan 12 spesies mengalami peningkatan status (kondisi konservasi memburuk).
Dari 18 spesies yang mengalami penurunan status, hanya dua spesies yang mencerminkan perubahan sebenarnya (genuine change), perubahan status yang mencerminkan perubahan nyata di lapangan. Mereka adalah pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster) dan ibis cucuk-besi (Threskiornis melanocephalus).
Sejak 2004, mereka masuk dalam kategori Mendekati Terancam Punah (Near Threatened). Namun, pada 2024, statusnya menurun menjadi Risiko Rendah (Least Concern). Penurunan ini mencerminkan adanya perbaikan nyata dalam kondisi populasi mereka di alam.
Sementara itu, penurunan status keterancaman pada 16 spesies burung lainnya disebabkan oleh ketersediaan data atau informasi baru. Contohnya, poksai kuda (Garrulax rufifrons) yang sejak 2013 dikategorikan sebagai Kritis (Critically Endangered). Setelah Burung Indonesia meninjau ulang, ternyata spesies ini dapat dijumpai secara reguler di 14 lokasi yang tersebar di enam area hutan pegunungan di Jawa. Kini, status keterancaman poksai kuda turun menjadi Genting (Endangered). Sama halnya dengan celepuk banggai dan walik banggai.
Sejak 2014, keduanya masuk dalam kategori Rentan (Vulnerable). Namun, setelah Burung Indonesia meninjau ulang pada 2022, keduanya masih umum ditemukan di Pulau Peling, Banggai Kepulauan. Mereka mendiami berbagai tipe habitat, termasuk hutan primer, hutan
sekunder, hutan kota, dan sistem agroforestri di seluruh zona elevasi pulau tersebut. Kini, status keterancaman walik banggai turun menjadi Mendekati Terancam Punah (Near Threatened).
Sebaliknya, dari 12 spesies yang mengalami peningkatan kategori keterancaman, sebelas di antaranya mencerminkan perubahaan sebenarnya. Salah satu contohnya adalah mentok rimba (Asacornis scutulata) yang berstatus Kritis (Critically Endangered). Ancaman utama antara lain konversi hutan rawa dataran rendah menjadi perkebunan, degradasi habitat akibat pengelolaan hutan yang tidak tepat, perburuan liar, dan pengambilan telur.
Selain mentok rimba, delapan spesies burung pantai juga mengalami peningkatan kategori keterancaman. Spesies-spesies tersebut adalah burung migran yang bergantung pada jaringan lahan basah sepanjang Jalur Terbang Asia Timur-Australasia. Peningkatan status mereka
sebagian besar disebabkan oleh hilangnya habitat penting akibat reklamasi pesisir, konversi lahan skala besar, dan gangguan manusia selama fase migrasi dan overwintering.
Hingga akhir tahun 2004, tidak ada perubahan besar dalam jumlah spesies burung endemis di Indonesia. Jumlahnya masih sama seperti tahun sebelumnya, 542 spesies. Namun, jika dihitung dalam lima tahun terakhir, terdapat penambahan 30 spesies baru. Lebih dari separuh merupakan hasil dari proses pemisahan taksonomi. Salah satu contohnya adalah burung kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) yang sebelumnya dianggap tersebar luas dari Asia Selatan hingga Indonesia.
Berdasarkan catatan selama tahun 2024, persebaran burung endemis tidak merata. Sebagian besar mereka ditemukan di wilayah Wallacea yang mencakup Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ada tiga kelompok burung yang menyumbang sekitar 75 persen dari total burung endemis Indonesia. Mereka terdiri dari Passeriformes (burung kicau: 326 spesies), Columbiformes (burung dara, merpati, dan uncal: 42 spesies), dan Psittaciformes (burung paruh bengkok: 41 spesies).
Kebanyakan mereka hidup di habitat hutan, baik hutan dataran rendah maupun pegunungan. Oleh karena itu, hilangnya hutan alami dapat berdampak langsung terhadap keberadaan burung endemis yang mempunyai sebaran geografis sangat terbatas.
"Status Burung di Indonesia Tahun 2025 menggambarkan kondisi terkini keanekaragaman hayati dan tingkat keterancaman burung di Tanah Air. Sejumlah spesies mengalami peningkatan risiko kepunahan akibat tekanan terhadap habitat, perburuan, serta faktor-faktor lainnya. Meski begitu, ada pula spesies yang menunjukkan perbaikan status berkat perlindungan dan pemantauan yang berkelanjutan. Hal ini membuktikan bahwa langkah-langkah konservasi dapat memberikan dampak positif,” kata Ria Saryanthi.