REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekitar 8.500 ton residu antibiotik dari konsumsi manusia mencemari sungai-sungai di seluruh dunia setiap tahun. Dari jumlah itu, lebih dari 3.300 ton mengalir ke laut dan danau. Temuan ini diungkapkan dalam studi Universitas McGill yang dipublikasikan di jurnal PNAS Nexus.
Seperti dikutip dari laman Studyfinds, Selasa (13/5/2025), penelitian tersebut menunjukkan lebih dari 6 juta kilometer sungai di dunia mengandung konsentrasi antibiotik yang melebihi ambang batas aman, terutama selama musim kemarau. Asia Tenggara menjadi kawasan dengan tingkat pencemaran tertinggi.
Polusi ini tidak hanya mengancam kehidupan akuatik, tetapi juga memperburuk krisis resistensi antimikroba. Bahkan dalam jumlah kecil, residu antibiotik dapat mengganggu keseimbangan mikroba, meningkatkan gen resistensi, serta membahayakan ikan dan ganggang.
WHO menyebut resistensi antimikroba sebagai ancaman global yang serius, yang berpotensi menjadi penyebab utama kematian pada 2050.
Para peneliti menjelaskan bahwa tubuh manusia tidak sepenuhnya memetabolisme antibiotik. Sisa zat buangan ini kemudian mengalir ke saluran air melalui limbah domestik, yang sebagian besar tidak difilter secara memadai. Sekitar 50 persen air limbah global bahkan dibuang tanpa pengolahan sama sekali.
Studi ini melacak perjalanan 40 jenis antibiotik paling umum, mulai dari konsumsi hingga masuk ke sistem perairan. Hasilnya, 29 persen antibiotik yang dikonsumsi berakhir di sungai, sementara 11 persen sampai ke laut atau danau.
Amoksisilin menjadi pencemar terbesar, menyumbang 45 persen dari total panjang sungai yang terkontaminasi.
Konsumsi antibiotik terus meningkat, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Antara 2000–2015, terjadi lonjakan global sebesar 65 persen, dan diperkirakan akan naik hingga 200 persen pada 2030.
Negara-negara dengan tingkat risiko tertinggi meliputi India, Iran, Nigeria, Ethiopia, Turki, Vietnam, dan Pakistan. Di India dan Pakistan, lebih dari 30 persen sungai tercemar oleh setidaknya 10 jenis antibiotik dalam konsentrasi berbahaya.
Diperkirakan 750 juta orang tinggal dalam jarak 10 kilometer dari sungai dengan konsentrasi antibiotik tinggi. Jika air sungai tersebut digunakan sebagai sumber air minum, penduduk berisiko terpapar antibiotik kronis dalam dosis berbahaya.
Yang lebih mengkhawatirkan, studi ini hanya menghitung dari konsumsi manusia. Jika ditambah penggunaan di sektor peternakan—yang dua kali lipat lebih besar—serta limbah dari industri farmasi dan akuakultur, dampaknya dipastikan jauh lebih besar.
Para peneliti menyerukan tindakan segera, termasuk peningkatan sistem pengolahan air limbah, regulasi yang lebih ketat, serta tata kelola antibiotik yang lebih bijak di sektor kesehatan dan lingkungan.