Rabu 14 May 2025 11:05 WIB

Kenaikan Royalti Minerba Dinilai Momentum Dorong Transisi Energi

Pemerintah diimbau alokasikan pendapatan tambahan untuk energi hijau.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 dan PP Nomor 19 Tahun 2025. Langkah ini mendapat apresiasi dari kalangan masyarakat sipil, namun mereka mengingatkan bahwa potensi peningkatan pendapatan negara ini harus diarahkan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia.

Dalam kebijakan terbaru ini, pemerintah memberlakukan tarif royalti progresif untuk mineral seperti nikel, dari sebelumnya tarif tunggal sebesar 10 persen menjadi 14–19 persen, menyesuaikan Harga Mineral Acuan (HMA). Sementara itu, untuk batu bara, terdapat penyesuaian berdasarkan jenis izin, di mana royalti untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik, sedangkan untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) justru turun.

Baca Juga

Policy Strategist CERAH, Al Ayubi, menegaskan bahwa kenaikan tarif royalti ini harus dimanfaatkan secara strategis untuk mendukung transisi energi. Ia menilai kebijakan ini jangan hanya dipandang sebagai tambahan penerimaan negara, tetapi harus menjadi momentum perbaikan tata kelola industri ekstraktif dalam mengakselerasi transisi energi.

“Dana yang diperoleh harus secara jelas diarahkan untuk mendukung pembangunan sektor energi hijau, melalui subsidi energi terbarukan maupun insentif bagi investasi hijau,” kata Ayubi dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu (14/5/2025).

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah sejauh ini baru mengalokasikan dana sekitar Rp 34,2 triliun per tahun untuk energi baru dan terbarukan (EBT), jauh di bawah kebutuhan riil sebesar Rp 148,3 triliun per tahun. Situasi ini menyebabkan target bauran energi nasional dan target pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) berpotensi sulit tercapai.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa sepanjang 2019–2021, investasi swasta untuk energi fosil masih mendominasi sebesar 73,4 persen, sementara EBT hanya mendapat porsi 26,6 persen. “Kesenjangan pendanaan ini menjadi hambatan utama transisi energi di Indonesia. Karena itu, dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan,” ujar Ayubi.

Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, menilai peningkatan pungutan produksi batu bara merupakan solusi strategis bagi pemerintahan Prabowo dalam mempercepat transisi energi sekaligus mengatasi krisis iklim. Menurutnya, ada tiga tujuan utama dari peningkatan pungutan ini: meningkatkan penerimaan negara secara signifikan untuk transisi energi, memberikan disinsentif terhadap produksi batu bara, dan mewujudkan keadilan melalui pungutan proporsional dari sektor tambang yang selama ini menikmati keuntungan besar.

Tata menambahkan, tarif royalti dan pungutan produksi batu bara lainnya perlu dinaikkan secara bertahap untuk mencapai ketiga tujuan tersebut. Dengan skenario harga batu bara aktual periode 2022–2024, pemerintah dinilai berpotensi memperoleh tambahan penerimaan negara antara 5,63 miliar dolar AS (Rp 84,55 triliun) hingga 23,58 miliar dolar AS (Rp 353,7 triliun) per tahun.

“Dana ini sangat mencukupi untuk mendanai kebutuhan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 96,1 miliar dolar AS hingga 2030, yang sampai saat ini masih terkendala pendanaan konkret,” jelasnya.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam pendekatan jangka pendek yang hanya mengejar peningkatan penerimaan negara. Ia menilai kebijakan royalti seharusnya menjadi instrumen strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara secara bertahap, termasuk pengurangan produksi dan penghentian operasional PLTU baik dalam jaringan PLN maupun PLTU captive.

Pasalnya, RPJMN 2025–2029 masih mematok produksi batu bara sebesar 700 juta ton per tahun, jauh melebihi batas aman dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang hanya 400 juta ton. Di sisi lain, industri minerba telah menikmati berbagai insentif sejak diberlakukannya UU Minerba No. 3 Tahun 2020.

“Karena itu, kenaikan royalti harus menjadi alat untuk memperbaiki tata kelola secara menyeluruh dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak,” ujar Aryanto.

Ia juga menegaskan, pemerintah sebaiknya tidak mengalokasikan tambahan pendapatan dari kenaikan royalti untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME), karena dinilai tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement