Selasa 20 May 2025 18:01 WIB

Cina, Jepang, dan Korsel Berebut Dominasi Energi Hijau di Asia Tenggara

Pengaruh Cina mulai diimbangi Jepang dan Korsel.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Petugas beraktivitas di dekat panel surya di atap Trans Studio Mall Bandung, Bandung, Jawa Barat, Selasa (28/11/2023).
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas beraktivitas di dekat panel surya di atap Trans Studio Mall Bandung, Bandung, Jawa Barat, Selasa (28/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Cina masih memimpin sebagai sumber pembiayaan terbesar untuk investasi energi bersih di Asia Tenggara sepanjang 2013–2023, dengan nilai mencapai 2,7 miliar dolar AS di lima negara utama kawasan. Namun, pengaruh Cina kini mulai diimbangi Jepang dan Korea Selatan (Korsel) yang agresif memperluas penetrasi di sektor energi bersih regional.

Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru Zero Carbon Analytics (ZCA) bertajuk The Race to Invest in Southeast Asia’s Green Economy. Laporan ini memetakan aliran investasi energi bersih dan strategi geopolitik empat negara: Cina, Jepang, Korsel, dan Australia dalam membentuk arah transisi energi di Asia Tenggara.

Baca Juga

Fokus kajian mencakup lima negara dengan ekonomi terbesar dan pertumbuhan tercepat di kawasan, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Negara-negara ini dinilai memiliki potensi besar dalam pengembangan energi dan teknologi hijau.

“Meski Cina mendominasi di seluruh investasi dan perdagangan teknologi bersih, Korsel telah mengambil alih ceruk ekspor komponen baterai dan Jepang mengambil pasar investasi tenaga surya,” kata peneliti ZCA, Yu Sun Chin, dalam pernyataan tertulis, Selasa (20/5/2025).

Yu menyebut Korsel dan Jepang memiliki peluang besar memperluas investasi energi bersih di seluruh Asia Tenggara, kawasan yang ekonominya tumbuh pesat dan kaya potensi energi terbarukan.

Laporan ZCA mencatat Jepang kini memimpin pembiayaan transisi energi di kawasan lewat skema seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Jepang menjadi pemimpin bersama dalam pendanaan JETP senilai 20 miliar dolar AS untuk Indonesia dan turut mendukung inisiatif serupa di Vietnam.

Pada 2021, Jepang juga berkomitmen menyalurkan 25 juta dolar AS melalui ETM guna mempercepat penghentian operasional 5 hingga 7 PLTU di Indonesia, Filipina, dan Vietnam.

Di sisi investasi, Jepang menjadi penyumbang dana terbesar untuk proyek panel surya dan panas bumi di lima negara tersebut, dengan total investasi 1,3 miliar dolar AS sejak 2013 dan 142 juta dolar AS pada 2023.

Jepang juga menjadi pemasok utama bus dan kendaraan listrik di Filipina. Sementara Korea Selatan tercatat sebagai eksportir terbesar komponen baterai ke Malaysia (143,37 juta dolar AS) dan Indonesia (52,99 juta dolar AS), serta eksportir baterai kendaraan listrik terbesar kedua di Indonesia setelah Cina.

Australia pun tak ketinggalan. Negeri Kanguru itu menanamkan investasi pada infrastruktur jaringan listrik lintas negara seperti proyek Australia-Asia Power Linkyang dirancang untuk menyalurkan energi surya ke Singapura melalui wilayah Indonesia.

Asia Tenggara menjadi magnet investasi karena posisi geopolitik strategis dan ekonomi yang terus tumbuh. Cina, misalnya, telah menetapkan kendaraan listrik, baterai lithium-ion, dan panel surya sebagai sektor prioritas ekonomi baru, mencerminkan dorongan untuk menjadikan energi bersih sebagai mesin pertumbuhan utama.

Peningkatan investasi dan perdagangan teknologi bersih ke Asia Tenggara menjadi strategi negara-negara ini untuk memperkuat hubungan bilateral dan memperluas pengaruh mereka di kawasan.

Dengan energi terbarukan kini menjadi sumber listrik termurah di banyak negara Asia Tenggara, negara-negara penerima investasi dinilai memiliki posisi kuat untuk mempercepat transisi energi mereka.

Laporan ZCA menekankan, Asia Tenggara dapat mengoptimalkan peluang ini dengan memperluas permintaan domestik dan pasar hijau kawasan. Langkah ini diyakini akan mendorong percepatan pembiayaan transisi energi yang dibutuhkan ASEAN, yang diperkirakan mencapai 180 miliar dolar AS.

“Energi terbarukan dengan cepat menjadi sumber listrik termurah di sebagian besar Asia Tenggara, menawarkan peluang bagi ASEAN,” kata peneliti ZCA, Amy Kong.

Menurut Amy, ekspansi energi bersih akan memastikan pasokan energi terjangkau guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat. Selain itu, hal ini memberi peluang bagi investor untuk menguasai pasar energi bersih regional, berkontribusi pada target netral karbon, dan membangun kerja sama kawasan di tengah ketidakpastian global.

Laporan ZCA ini dirilis menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-46 di Malaysia. Pertemuan tersebut diharapkan mendorong aksi kolektif kawasan untuk memperkuat ketahanan industri energi bersih, terutama di tengah tekanan global seperti tarif produk hijau yang diberlakukan Amerika Serikat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement