REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan pentingnya penyelamatan fauna yang terancam punah di Indonesia. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 2025, ia menyoroti kondisi kritis sejumlah megafauna seperti Badak Sumatera di Kalimantan Timur dan pesut Mahakam di Sungai Mahakam.
Hanif secara khusus menekankan kondisi Badak Sumatera, salah satu spesies dengan populasi paling kritis saat ini. “Di Riau, kita harus mengambil langkah-langkah kondusif dalam menyelamatkan megafauna yang ada. Di Kalimantan Timur, kita juga melihat Badak Pahu. Badak Sumatera ini hanya dua ekor. Satu ekor telah kita amankan, satu ekor masih ada di alam di hutan Kalimantan Timur,” ujarnya, Kamis (22/5/2025).
Ia menyatakan, penyelamatan Badak Pahu tidak bisa menunggu kesiapan penuh. “Perlu aksi-aksi nyata, tidak mungkin menunggu kita siap. Tapi kita harus segera, segera dan segera melakukan penyelamatan terhadap Badak Pahu ini,” tegasnya.
Selain badak, Hanif juga menyoroti ancaman terhadap pesut Mahakam, mamalia air tawar endemik yang hanya ditemukan di Sungai Mahakam. Ia menyebut lalu lintas kapal tongkang pengangkut sumber daya alam sebagai salah satu penyebab utama menurunnya populasi pesut.
“Kita harus segera rumuskan langkah-langkah apa kita untuk menyelamatkan pesut Mahakam yang hanya ada di sungai Mahakam,” katanya.
Hanif menekankan bahwa penyelamatan keanekaragaman hayati bukan hanya tugas pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.
“Bergandengan tangan bukan hanya ini menjadi kewajiban Indonesia, ini harus menjadi embanan tugas seluruh bangsa kita menyelamatkan spesies-spesies penting, tidak terkecuali pada Badak Pahu,” ujarnya.
Ia juga mengajak semua pihak — lembaga pemerintah, akademisi, entitas bisnis, dan organisasi non-pemerintah — untuk bersinergi dalam menyusun dan menjalankan strategi konservasi yang tepat.
“Saya mohon kerja sama semua pihak untuk memastikan kita segera membangun instrumen yang diperlukan. Kami sangat terbuka untuk memformulasikan dan menggodok serius instrumen tersebut,” katanya.
Hanif juga mengingatkan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam aktivitas yang berpotensi mengancam biodiversitas. Ia menyoroti risiko dari produk rekayasa genetik, spesies asing invasif, serta dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan.
“Kita telah belajar cukup banyak dari kasus ikan nila dan ikan mas yang menjadi predator utama pada danau-danau besar kita. Penanganan cukup rumit sekarang,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pengelolaan spesies invasif harus dilakukan dengan serius. Selain itu, peran generasi muda dalam konservasi juga dinilai sangat penting.
“Keterlibatan anak-anak muda menjadi sangat penting. Data statistik menunjukkan sampai 2045 kita akan mengalami keemasan demografi dengan tenaga kerja dan generasi muda yang cukup besar. Hari ini mari kita tanamkan bersama upaya menjaga biodiversitas,” katanya.
Hanif mengajak generasi muda untuk aktif berperan dalam upaya pelestarian sebagai bagian dari tanggung jawab bersama demi masa depan yang berkelanjutan.
Ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menyusun Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) sebagai panduan nasional untuk perlindungan biodiversitas hingga tahun 2025.
“IBSAP ini mestinya menjadi rujukan regulasi yang sangat kuat. Namun demikian, kita tidak boleh berdiam diri sambil ini berjalan. Segera tentukan langkah-langkah aksi konkret dan kumpulkan semua regulasi yang memungkinkan,” ujarnya.
Hanif mengakui bahwa instrumen hukum dan kebijakan untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia masih sangat terbatas. “Kita benar-benar hampir tidak memiliki kekuatan instrumen untuk melakukan penanganan biodiversitas melalui kerja sama kita semua, baik di dalam negeri maupun dengan mitra internasional,” katanya.