REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Biologi Universitas Indonesia Jatna Supriatna mengungkapkan dampak perubahan iklim yang makin nyata terhadap keanekaragaman hayati Indonesia. Satwa endemik seperti komodo pun bisa terancam punah.
Ia menyebut suhu global telah meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius sejak era pra-industri, dan tren ini diprediksi terus naik tanpa upaya mitigasi serius.
“Suhu global yang awalnya di bawah 1 derajat Celsius kini telah melampaui 1,5 derajat Celsius dan diprediksi akan terus meningkat jika tidak ada upaya mitigasi serius,” ujarnya dalam diskusi daring “Keanekaragaman Hayati dalam Aksi Pengendalian Perubahan Iklim” yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu (28/5/2025).
Jatna menekankan kenaikan suhu memicu ancaman ekologis besar, termasuk naiknya permukaan laut yang menggerus habitat pesisir dan pulau kecil. Ia menyebut perubahan iklim kini menjadi pendorong utama gangguan ekosistem, mulai dari perubahan curah hujan hingga hilangnya kawasan hutan.
Emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan alih fungsi lahan menjadi penyebab utama. Dampaknya paling dirasakan satwa endemik, seperti komodo di Nusa Tenggara Timur. Naiknya suhu memengaruhi pertumbuhan pohon yang berperan penting dalam perlindungan anak komodo dari ancaman kanibalisme.
“Anak komodo memerlukan pohon. Karena komodo itu kanibal. Sehingga kalau tidak ada pohon, anaknya pasti dimakan oleh komodo yang lain. Oleh karena itu, begitu telurnya sudah menetas, anak komodo ke pohon, dia lari ke pohon yang paling tinggi, sehingga dia bisa di situ aman sampai kira-kira cukup untuk bisa menghindar daripada komodo-komodo yang lain,” jelasnya.
Ekosistem laut juga terdampak parah. Terumbu karang mengalami pemutihan akibat suhu laut yang naik, meskipun wilayah seperti Raja Ampat menunjukkan ketahanan karena variasi suhu hariannya. Mamalia laut seperti paus dan hiu paus turut kesulitan beradaptasi terhadap perubahan kadar oksigen dan klorofil.
Jatna juga menyoroti risiko kesehatan akibat perubahan iklim. Fenomena dilution effect membuat satwa liar seperti kelelawar—yang menjadi reservoir virus—kian dekat dengan permukiman manusia akibat kerusakan habitat.
“Kelelawar, sebagai salah satu reservoir virus, semakin dekat dengan manusia karena habitatnya yang menyusut. Interaksi ini meningkatkan risiko penularan penyakit zoonosis, yang menjadi penyebab munculnya pandemi seperti COVID-19,” katanya.
Ia menekankan pentingnya perlindungan habitat dan pengendalian perdagangan satwa liar. Upaya adaptasi perlu melibatkan reboisasi dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan, termasuk di habitat komodo dan spesies rentan lainnya.
“Penanaman pohon yang tepat di habitat komodo dan spesies lain adalah solusi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mendukung kelangsungan hidup spesies yang terancam,” ujarnya.
Jatna juga menyoroti perlunya sistem prediksi iklim yang lebih baik agar pemerintah dan masyarakat dapat mengambil langkah adaptasi secara tepat, terutama untuk sektor pertanian dan kesehatan.
Meski laju deforestasi menurun sejak 2020, alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan dan pertambangan masih terus terjadi. Padahal, lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar dan kerusakannya melepaskan gas metana yang 25 kali lebih berbahaya dari CO₂.
Mengutip jurnal Nature, Jatna mengingatkan bahwa sekitar satu juta spesies terancam punah pada 2050 jika tren saat ini terus berlanjut. “37 persen spesies global terancam hilang jika kita gagal mengendalikan kenaikan suhu,” tegasnya.
Sebagai solusi, ia menekankan pentingnya restorasi ekosistem, termasuk rehabilitasi mangrove dan terumbu karang. Pemanfaatan biodiversitas secara berkelanjutan lewat ekowisata dan pengembangan obat-obatan juga dinilai sebagai peluang yang belum maksimal.