Rabu 28 May 2025 15:41 WIB

Kekayaan Hayati Indonesia Belum Dimanfaatkan Maksimal

Biodiversitas Indonesia juga merupakan aset besar ekowisata.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Seniman yang juga aktivis lingkungan melakukan teaterikal Aksi Solidaritas Rangga (Rangkong Gading) Mencari Cinta dalam rangka Hari Burung Rangkong, di Taman Braga, Kota Bandung, Kamis (13/2/2025).
Foto: Edi Yusuf
Seniman yang juga aktivis lingkungan melakukan teaterikal Aksi Solidaritas Rangga (Rangkong Gading) Mencari Cinta dalam rangka Hari Burung Rangkong, di Taman Braga, Kota Bandung, Kamis (13/2/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun ironisnya, potensi luar biasa itu masih belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung ketahanan pangan, industri, maupun ekonomi nasional.

Hal itu ditegaskan Guru Besar Biologi FMIPA Universitas Indonesia Jatna Supriatna, dalam diskusi daring bertajuk Keanekaragaman Hayati dalam Aksi Pengendalian Perubahan Iklim yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu (28/5/2025). “Sayangnya, sebagian besar dari kekayaan ini belum termanfaatkan dengan optimal,” kata Jatna.

Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan wilayah seluas 8,3 juta kilometer persegi termasuk laut, dengan posisi strategis yang dilintasi 58 persen jalur perdagangan dunia. Namun kekayaan geografis ini belum berbanding lurus dengan kapasitas eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya hayati.

Jatna menyebut Indonesia menempati posisi kedua negara terkaya biodiversitas di dunia setelah Brasil. Meski hanya mencakup 1,3 persen dari luas daratan bumi, Indonesia menyimpan 10 persen spesies tanaman dunia, 12 persen mamalia, 15 persen serangga, 17 persen burung, dan 25 persen spesies ikan laut.

“17 persen burung-burung dunia ada di Indonesia dan yang sangat menakjubkan adalah 25 persen daripada ikan di dunia itu adanya di Indonesia,” ujarnya.

Namun demikian, dari ribuan spesies ikan, hanya sekitar 30 yang telah dibudidayakan secara komersial. Banyak spesies lokal bahkan belum dikenali secara ilmiah, apalagi dimanfaatkan, seperti katak Blyth di Sumatra yang bisa mencapai berat satu kilogram namun belum dikembangkan sebagai sumber pangan lokal.

“Kalau kita makan swike, katak-katak itu, itu berasal dari Amerika. Harusnya katak kita yang kita kembangkan,” ujarnya.

Di sektor pertanian dan pangan, Indonesia memiliki sekitar 400 tanaman buah, 370 spesies sayuran, 60 tanaman penyegar, 55 jenis rempah, dan lebih dari 2.500 tanaman obat. Tapi semua itu, menurut Jatna, belum dieksplorasi secara maksimal sebagai bahan baku industri dan sumber daya strategis.

Contoh nyata lainnya adalah pisang. Indonesia merupakan pusat keragaman pisang dunia. Di Papua, terdapat varietas pisang dengan tinggi mencapai 10 meter dan berat buah hingga 3 kilogram. Namun, “Kita masih impor pisang dari Filipina dan Australia. Alih teknologi pisang hanya dilakukan lima orang di Indonesia,” kata Jatna.

Di sektor kelautan, Indonesia merupakan produsen ikan ketiga terbesar dunia setelah Cina dan Peru. Tapi nilai tambah ekonomi dari kekayaan laut masih tertinggal jauh dibandingkan potensinya.

Pada 2006, pasar farmasi global dari produk berbasis biodiversitas mencapai 643 miliar dolar AS dan terus tumbuh. Indonesia, katanya, memiliki semua bahan mentah, tapi belum berdaya dalam mengolahnya.

“Obat-obatan untuk kanker, antibiotik, dan berbagai produk bioteknologi berasal dari biodiversitas. Kita punya semua bahan mentahnya, tapi belum mengolahnya,” tegasnya.

Biodiversitas, kata dia, bukan hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga krusial dalam mitigasi krisis iklim. Ia menyebut saat ini dunia menghadapi tiga krisis utama: perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati — yang saling memperburuk satu sama lain.

“Krisis ini saling berkaitan dan saling memperparah. Perubahan iklim mempercepat kepunahan spesies, polusi merusak habitat, dan hilangnya biodiversitas mengurangi daya tahan ekosistem,” ujarnya.

Indonesia juga menjadi negara paling rawan bencana alam seperti gempa dan tsunami. Namun di balik itu, tersimpan potensi geologi luar biasa, termasuk 129 gunung api aktif dan 40 persen cadangan panas bumi dunia, yang dapat menghasilkan energi hingga 23 gigawatt.

Selain potensi pangan dan energi, biodiversitas Indonesia juga merupakan aset besar ekowisata. Jatna mencontohkan wisata pengamatan burung (bird watching) yang bernilai besar di pasar global.

“Pada 2019 saja, wisata pengamatan burung menghasilkan 96 miliar dolar AS secara global. Burung-burung endemik Indonesia seperti cenderawasih jadi incaran utama para pengamat dari Eropa, Jepang, dan Amerika,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement