REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Raja Ampat, gugusan kepulauan di barat laut Papua Barat Daya, dikenal luas dengan julukan “Surga Terakhir di Bumi”. Julukan itu bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan karena Raja Ampat memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang juga berperan penting bagi dunia.
Raja Ampat merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia atau Coral Triangle, kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.
Menurut data resmi dari BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi (KK) di Perairan Kepulauan Raja Ampat, wilayah ini menjadi habitat bagi lebih dari 1.600 spesies ikan karang dan lebih dari 550 spesies terumbu karang.
Angka tersebut mewakili sekitar 75 persen dari seluruh spesies terumbu karang dunia. Ini menjadikan Raja Ampat sebagai pusat biodiversitas laut global.
Selain itu, wilayah ini juga mencatat keberadaan lebih dari 700 spesies moluska, termasuk tujuh spesies kerang raksasa, serta lima spesies penyu laut yang langka dan terancam punah. Beragam spesies hiu seperti hiu karpet (wobbegong) dan hiu epaulette yang unik juga menjadikan perairan Raja Ampat sebagai laboratorium alami bagi para peneliti kelautan.
Keindahan lanskap Raja Ampat tak kalah menakjubkan. Raja Ampat memiliki lebih dari 1.500 pulau kecil, atol, dan beting, yang mengelilingi empat pulau utama, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.
Oleh karena itu, keajaiban alam Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga menjadi kekayaan dunia yang perlu dijaga bersama. Namun, ‘Surga Terakhir’ di Bumi ini kini terancam akibat adanya ekspansi tambang nikel.
Laporan Greenpeace menyebut bahwa aktivitas tambang nikel telah menyebabkan pembabatan lebih dari 500 hektare hutan di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran, yang semuanya seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sedimentasi dari aktivitas tambang juga mengancam terumbu karang dan kehidupan laut di sekitar kawasan tersebut.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menegaskan akan turun langsung meninjau aktivitas tambang nikel yang diduga merusak ekosistem Raja Ampat. Ia juga membuka kemungkinan penindakan hukum jika terbukti ada pelanggaran.
“Raja Ampat sedang kami teliti. Mapping sudah kami lakukan. Saya akan ke sana secepatnya,” ujar Menteri LH/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq dalam pernyataan usai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Kabupaten Badung, Bali, Kamis (5/6).
Hanif menambahkan, kementeriannya tidak akan tinggal diam jika tambang nikel terbukti mengancam kelestarian lingkungan. “Atau paling tidak, kami akan segera ambil langkah-langkah hukum terkait aktivitas tambang di Raja Ampat, setelah kajian selesai. Kalau terbukti melanggar, akan kami tindak,” ujarnya.
Pernyataan ini muncul menyusul kritik keras dari masyarakat sipil terhadap ekspansi tambang nikel.
“Insya Allah dalam waktu dekat saya akan datang langsung ke Raja Ampat. Saya ingin lihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa masyarakat sampai bersuara keras seperti ini,” tegas Hanif.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya akan memanggil pemegang izin tambang nikel di Raja Ampat untuk mengevaluasi aktivitas tambang.