REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa upaya penurunan emisi pasca-2030 akan menjadi penentu keberhasilan target net zero emission (NZE) Indonesia pada 2060. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyebut periode tersebut sebagai fase krusial.
Menurut Eniya, tren emisi saat ini masih meningkat. Jika tidak segera dibalik menuju penurunan mulai 2030, maka target NZE pada 2060 hanya akan menjadi retorika tanpa realisasi.
“Nah, ini yang sering tidak banyak disadari, sekarang itu emisinya masih naik, tetapi dalam perencanaan 2030 ke sana harus turun. Kalau enggak turun, ya sudah, enggak jadi. 2060 omon-omon saja nanti,” kata Eniya dalam seminar “Peluang dan Tantangan Industri Bioenergi Menyongsong Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Eniya menyebut bioenergi sebagai salah satu solusi utama yang dapat mendorong penurunan emisi, terutama di sektor industri dan transportasi. Kedua sektor ini merupakan penyumbang emisi signifikan sekaligus penggerak ekonomi.
“Terkait dengan bioenergi, kita lihat yang paling besar memang di sektor industri, lalu sektor transportasi,” ujar Eniya.
Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan (EBT) mencapai 23 persen, target awalnya dicapai pada 2025. Namun hingga pertengahan 2025, realisasinya baru menyentuh 15,25 persen dan diperkirakan mendekati 16 persen pada akhir tahun.
“Target kita 23 persen, sebetulnya agak tertunda ke 2030. Nah ini kita harus kejar, dan upaya pertama yang kita lakukan adalah mengubah konsep di RUPTL,” kata Eniya.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, pemerintah mencanangkan penambahan kapasitas pembangkit baru sebesar 69,5 gigawatt (GW), dengan 42,6 GW di antaranya bersumber dari energi terbarukan.
“Langkah konkret sudah terlihat di sektor ketenagalistrikan, kami berharap sektor lain juga mulai bergerak ke arah yang sama,” ujar Eniya.