REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Utama Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX), Fajar Wibhiyadi, menyatakan bahwa Renewable Energy Certificate (REC) atau Sertifikat Energi Terbarukan memberikan manfaat strategis bagi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT), pembeli REC, serta pemerintah.
“Bagi pembangkit listrik energi baru terbarukan, REC dapat meningkatkan nilai bagi investor serta menjadi insentif untuk mengembangkan lebih banyak proyek EBT,” ujar Fajar dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Ia menambahkan, bagi pembeli, REC dapat membantu mencapai tujuan keberlanjutan, meningkatkan reputasi perusahaan, dan memenuhi standar lingkungan. Sementara bagi pemerintah, REC berfungsi sebagai stimulus atau akselerator dalam pencapaian target bauran EBT nasional.
Menurut Fajar, pembangkit listrik EBT akan memperoleh nilai tambah melalui konversi setiap 1 megawatt hour (MWh) listrik yang dihasilkan menjadi 1 REC. Dengan demikian, selain menjual tenaga listrik, pembangkit juga dapat menjual sertifikat sebagai nilai ekonomi tambahan.
“Harapannya, dengan adanya REC ini, akan semakin banyak pelaku usaha yang berinvestasi dalam pengembangan pembangkit listrik EBT, yang berdampak pada peningkatan kapasitas listrik EBT nasional,” tuturnya.
Terkait bauran energi, pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. REC juga dinilai sebagai instrumen yang berpotensi digunakan dalam menghadapi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).
Lebih lanjut, dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan 61 persen bauran energi berasal dari sumber terbarukan. Sementara itu, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 memperkirakan total kapasitas pembangkit nasional mencapai 443 gigawatt (GW) pada 2060, dengan tenaga surya (109,4 GW), tenaga air (70,5 GW), angin (73,2 GW), dan panas bumi (22,7 GW) sebagai pendorong utama pertumbuhan.