Selasa 02 Sep 2025 14:26 WIB

Kapasitas Energi Surya Indonesia Masih di Bawah 1 GW, ASEAN Sudah Melonjak

Indonesia baru capai 916 MW energi surya, jauh di bawah capaian negara ASEAN lain.

Rep: Frederikus Dominggus Bata / Red: Gita Amanda
Hingga akhir 2024, kapasitas terpasang baru mencapai 916 MW. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Hingga akhir 2024, kapasitas terpasang baru mencapai 916 MW. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Energi Terbarukan dari lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR), Alvin Putra, menyatakan Indonesia masih tertinggal dibanding negara ASEAN lain dalam pengembangan energi surya. Hingga akhir 2024, kapasitas terpasang baru mencapai 916 MW.

Alvin menyebut IESR telah mencatat perkembangan pembangunan energi surya di Indonesia dan Asia Tenggara. Ia mencontohkan, negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia pernah mengeluarkan kebijakan Feed-in Tariff (FiT), yaitu insentif pemerintah berupa harga pembelian listrik yang dijamin dan menguntungkan bagi produsen energi terbarukan untuk jangka waktu tertentu, biasanya 15–20 tahun.

Baca Juga

Meski kebijakan itu kini dihentikan, menurut Alvin, momentum pengembangan energi surya tetap berlanjut. “Momentum ini tidak serta-merta hilang ketika subsidi ditarik. Justru perkembangan energi surya tetap meningkat bahkan setelah tidak ada lagi feed-in tariff di negara-negara tersebut,” kata Alvin dalam media briefing Indonesia Solar Summit 2025, Selasa (2/9/2025).

Alvin menilai Indonesia masih lambat dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain. “Pada 2024, kami mencatat kapasitas terpasang energi surya hanya mencapai sekitar 900 MW, belum menyentuh 1 gigawatt (GW). Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain di kawasan yang sudah melampaui 1 GW,” ujarnya.

Ia menambahkan, energi surya mengalami momentum luar biasa secara global pada 2024 dengan penambahan kapasitas mencapai 600 GW dalam satu tahun, pencapaian tercepat dalam sejarah sumber energi mana pun. Kemajuan teknologi, terutama dari China, membuat modul lebih efisien dan murah, sehingga mendorong adopsi energi surya di berbagai negara, termasuk Asia Tenggara.

Evaluasi IESR menunjukkan pelaksanaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar di Indonesia banyak mengalami penundaan. Target 2023 sebesar 750 MW hanya tercapai 250 MW atau 33 persen dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

“Ini dipengaruhi tender proyek skala besar yang tidak teratur dan tidak sesuai perencanaan RUPTL. Hal ini menjadi sinyal mengkhawatirkan bagi investor swasta yang ingin masuk ke sektor energi surya Indonesia,” kata Alvin.

Meski demikian, PLTS Terapung Cirata yang beroperasi sejak 2023 masih menjadi proyek flagship sekaligus PLTS terapung terbesar di kawasan. Sementara itu, PLTS Atap terus menunjukkan pertumbuhan positif meski menghadapi perubahan regulasi. Sejak Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 disahkan, sistem net metering dihapus dan diganti dengan sistem kuota.

“Penambahan kapasitas PLTS Atap tidak berhenti dengan perubahan regulasi, tetap tumbuh. Ini menunjukkan keinginan konsumen untuk mendapatkan energi bersih semakin meningkat,” ungkap Alvin.

Pertumbuhan PLTS Atap terutama didorong adopsi standar hijau oleh industri dan bangunan komersial, dengan konsentrasi tertinggi di Jawa dan Bali. Namun, potensi daerah lain belum dimaksimalkan, seperti Yogyakarta dan Sumatera Utara yang masih rendah adopsinya.

Energi surya memiliki keunggulan fleksibilitas penempatan serta potensi teknis yang merata di seluruh Indonesia, menjadikannya ideal untuk elektrifikasi daerah yang belum terjangkau jaringan PLN. Program seperti Listrik Desa berbasis PLTS, Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), dan Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) turut meningkatkan pemanfaatan energi surya.

“Program LTSHE dan SPEL pada akhirnya harus digantikan sumber listrik lebih mumpuni dan reliable. Keniscayaan sistem ini adalah beralih ke mini grid atau listrik desa dengan skala lebih besar dan berkelanjutan,” katanya.

Tantangan utama, menurut Alvin, adalah aksesibilitas daerah terpencil dengan biaya yang bisa mencapai 20 kali lipat lebih tinggi dibanding perkotaan. Karena itu, IESR merekomendasikan pemerintah memperbaiki jadwal tender proyek skala besar agar sesuai RUPTL, memberikan kepastian investasi bagi sektor swasta, serta mengoptimalkan potensi daerah untuk mengejar target nasional 1 GW pada 2025.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement