REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Arus modal global yang masih mengalir deras ke industri pemicu deforestasi dinilai mengganggu misi hijau Indonesia yang ingin menegaskan peran sebagai pemimpin pendanaan hutan tropis dalam pertemuan iklim COP30 di Belem, Brasil. Ketimpangan aliran pendanaan ini membuat komitmen kehutanan negara-negara tropis menghadapi tantangan kredibilitas di forum iklim.
Laporan terbaru Forest Declaration Assessment mengungkap aliran dana internasional jauh lebih besar menuju industri pertanian yang memicu 85 persen deforestasi global ketimbang ke perlindungan hutan. “Arus keuangan masih sangat tidak selaras dengan tujuan kehutanan, dengan subsidi yang merugikan melebihi subsidi hijau dengan rasio lebih dari 200:1,” tulis laporan tersebut.
Sepanjang satu dekade terakhir, 409 miliar dolar AS per tahun mengalir sebagai subsidi ke industri pertanian intensif, sementara pendanaan global untuk konservasi dan restorasi hutan hanya sekitar 5,9 miliar dolar AS. Forest Declaration Assessment merupakan tinjauan ilmiah tahunan yang menilai deforestasi, degradasi, upaya restorasi, dan keselarasan keuangan internasional dengan target iklim berbasis hutan.
Di tengah ketimpangan tersebut, Pemerintah Indonesia mengirim delegasi ke COP30 membawa komitmen dukungan terhadap Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Langkah ini diharapkan memperkuat posisi Indonesia dalam menyusun aturan pendanaan iklim bagi negara-negara berhutan tropis.
Namun, dukungan Indonesia kepada TFFF memunculkan pertanyaan tentang kesiapan politik dan birokrasi nasional mengikuti standar konservasi yang ketat. Keberhasilan inisiatif ini dinilai sangat bergantung pada perubahan arus keuangan global yang selama ini masih menopang sektor perusak hutan.
Saat Brasil memperkenalkan dana hutan tropis unggulan di COP30, laporan terpisah Global Witness memperlihatkan kontras tajam dalam peta pendanaan kehutanan. Sejak Perjanjian Paris 2015, lembaga keuangan disebut meraup 26 miliar dolar AS atau sekitar 7 juta dolar AS per hari dari pembiayaan perusahaan pemicu deforestasi.
“Kita menyaksikan bank-bank besar mendanai penjualan hutan hujan dunia. Dan mereka meraup untung besar dari kehancuran yang terjadi,” kata Kepala Bidang Kehutanan Global Witness, Alexandria Reid, dalam keterangan, Selasa (18/11/2025). Pernyataan ini menyoroti peran bank dan institusi keuangan dalam menopang bisnis berbasis pembukaan hutan.
Aktivis menilai temuan tersebut menguatkan kritik lama terhadap pembiayaan peternakan industri skala besar. Mereka menekankan bahwa arah aliran dana global masih belum sejalan dengan target perlindungan hutan dan iklim.
“Industri peternakan merupakan pendorong utama deforestasi di Amerika Selatan, di mana ekosistem alam yang luas dihancurkan untuk penggembalaan ternak dan produksi tanaman pakan ternak dalam skala besar,” ujar Camila Perussi, Pimpinan Kampanye Lembaga Keuangan di Sinergia Animal. Ia mendesak bank pembangunan, termasuk World Bank, mengakhiri pendanaan peternakan pabrik yang merusak keanekaragaman hayati.
Jika lembaga keuangan internasional terus memperkuat industri perusak hutan, pendanaan hijau seperti kontribusi Indonesia melalui TFFF diperkirakan menghadapi tantangan legitimasi. Di sisi lain, sektor kehutanan Indonesia masih bergulat dengan persoalan korupsi dan konflik lahan sehingga implementasi dana konservasi berpotensi tersendat.
“Sistem keuangan global harus direformasi untuk menghentikan insentif bagi alih fungsi lahan dan produksi ternak beremisi tinggi. Sudah saatnya bank menghentikan pendanaan untuk industri-industri yang merusak ini,” lanjut Camila Perussi.
Para pegiat menilai pergeseran arus modal menjadi kunci agar agenda pendanaan hutan tropis di COP30 tidak berhenti pada deklarasi.