REPUBLIKA.CO.ID, BELEM — Agenda Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) membahas berbagai isu. Tujuannya melanjutkan dan memperkuat kesepakatan-kesepakatan tahun-tahun sebelumnya. Namun, proses itu berjalan sangat lambat, selama lebih dari 30 tahun dan meski ada kemajuan, hasilnya masih dianggap belum memadai untuk menangani krisis iklim.
Hasil yang akan muncul dari pertemuan tahun ini masih belum jelas. Sejumlah isu paling kontroversial justru dibahas di luar jalur formal, termasuk peningkatan pendanaan iklim, transisi dari bahan bakar fosil, serta penanganan kesenjangan kolektif dalam rencana penurunan emisi.
Kepresidenan Brasil untuk COP30, yang memimpin diskusi-diskusi di luar forum resmi, kini harus menentukan apakah akan melakukan manuver politik berisiko tinggi dengan merumuskan kesepakatan yang dapat disetujui seluruh negara—dikenal sebagai cover decision.
“Sudah lama saya mengatakan kami tidak merencanakan cover decision, tetapi saya juga mengatakan jika ada dorongan dari negara-negara untuk mengusulkan cover decision, presidensi tentunya akan mempertimbangkannya. Jadi, kita lihat bagaimana situasinya berkembang,” kata Presiden COP30 Andre Correa do Lago saat ditanya mengenai kemungkinan cover decision di konferensi pers, Sabtu (15/11/2025).
Sementara itu, berbagai aliansi dan inisiatif baru muncul di sela-sela perundingan. Koalisi Premium Flyers Solidarity, yang mendorong penerapan pajak pada tiket pesawat kelas premium dan jet pribadi, mengumumkan Djibouti, Nigeria, dan Sudan Selatan bergabung dalam upaya tersebut. Koalisi itu sebelumnya mencakup Prancis, Spanyol, Kenya, dan Barbados.
Dengan semakin berkurangnya bantuan luar negeri dari negara-negara Barat, gagasan pungutan “solidaritas” bagi sektor-sektor pencemar dinilai semakin menarik sebagai sumber pendanaan iklim tanpa menambah beban utang.
“Jika COP ini memberikan satu pesan jelas, itu adalah bahwa dekade mendatang harus menjadi periode percepatan yang ditopang oleh pembiayaan non-utang,” kata penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB Selwin Hart.
Dari sektor energi, Utilities for Net Zero Alliance mengumumkan peningkatan target investasi tahunan dari sekitar 116 miliar dolar AS menjadi hampir 150 miliar dolar AS. Komitmen itu mencakup 66 miliar dolar untuk energi terbarukan dan 82 miliar dolar untuk jaringan listrik dan baterai.