REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Direktur Pelaksana Senior Bank Dunia, Axel van Trotsenburg, mengatakan degradasi lahan, polusi udara, dan ketegangan air (water stress) merupakan ancaman langsung bagi perekonomian global. Namun, penggunaan sumber daya alam yang lebih efisien dapat memangkas pencemaran hingga setengah.
Van Trotsenburg menyebut negara-negara berpendapatan rendah sebagai pihak yang paling terdampak tiga tantangan lingkungan tersebut. Negara-negara ini sudah menghadapi persoalan kemiskinan, dampak perubahan iklim, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Ia mengatakan sekitar 80 persen masyarakat di negara-negara berpendapatan rendah terpapar ketiga tantangan itu. Van Trotsenburg menegaskan, Bank Dunia berkomitmen merespons masalah ini meski banyak negara memangkas dana bantuannya.
“Komitmen kami: mengentaskan kemiskinan di bumi yang dapat dihuni. Titik. Kami tidak akan goyah dalam hal ini,” katanya pada peluncuran laporan terbaru Bank Dunia mengenai kerusakan lingkungan global berjudul Reboot Development: The Economics of a Livable Planet, Senin (1/9/2025).
Salah satu negara yang paling terdampak adalah Burundi. Sekitar delapan juta orang di negara itu menghadapi risiko pencemaran air dan udara, sementara tujuh juta lainnya menghadapi risiko degradasi lingkungan lain. Adapun sekitar 12 juta orang di Malawi menghadapi ketiganya sekaligus.
Laporan itu menyebutkan sekitar 90 persen populasi global setidaknya menghadapi satu dari tiga tantangan tersebut. Bank Dunia mendesak negara-negara untuk mengalihkan subsidi yang saat ini dihabiskan untuk kegiatan yang merugikan.
Laporan Reboot Development diluncurkan saat gejolak politik mewarnai persiapan Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang. Bank Dunia dan lembaga keuangan global lainnya menunggu tinjauan atas operasi mereka sesuai instruksi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Februari lalu.
Van Trotsenburg mengatakan Bank Dunia akan memberikan bukti berbasis data mengenai degradasi lahan kepada negara-negara anggota. Laporan itu memperkirakan hutan berperan dalam membentuk sekitar setengah dari awan hujan di seluruh dunia.
Ketika terjadi deforestasi, kemampuan alam menciptakan dan mengatur curah hujan menurun. Akibatnya, terjadi penurunan curah hujan signifikan dengan dampak ekonomi mencapai 14 miliar dolar AS per tahun hanya di wilayah Amazon yang melibatkan sembilan negara.
Selain itu, hutan juga berfungsi sebagai penyimpan dan pelepas kelembapan secara perlahan. Ketika hutan rusak, tanah kehilangan kapasitas ini sehingga musim kemarau menjadi lebih parah, kekeringan lebih intens dan berkepanjangan.
Dampaknya sangat besar secara global: kerugian ekonomi mencapai 379 miliar dolar AS, atau setara dengan delapan persen dari total nilai produksi pertanian dunia. Laporan ini menegaskan, ancaman ekologis bukan lagi sesuatu yang jauh di masa depan, melainkan sudah nyata berdampak pada perekonomian saat ini.
“Kita sering memiliki mantra negara-negara perlu tumbuh terlebih dahulu, baru mencemari dan kemudian membersihkan. Bukti ini menunjukkan anggapan tersebut keliru,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk pembangunan berkelanjutan sekaligus salah satu penulis laporan tersebut, Richard Damania dikutip dari laman Reuters.